NUR CAHYONOWATI:

‘Pemeriksaan dan Denda Saja Tidak Cukup Membuat Wajib Pajak Patuh’

Dian Kurniati
Minggu, 02 Mei 2021 | 08.01 WIB
‘Pemeriksaan dan Denda Saja Tidak Cukup Membuat Wajib Pajak Patuh’

Nur Cahyonowati. 

ISU kepatuhan pajak menjadi hal menarik bagi Nur Cahyonowati. Sebagai dosen di Universitas Diponegoro, dia beberapa kali membuat riset tentang kepatuhan pajak. Yang terbaru, dia kembali mengangkat isu kepatuhan pajak dalam disertasi doktoralnya di Universitas Gadjah Mada.

Secara umum, perempuan yang akrab disapa Aya ini menilai isu kepatuhan pajak tergolong kompleks karena perlu pendekatan komprehensif untuk membuat individual patuh memenuhi kewajibannya. Risetnya memberikan bukti empirik tidak semua wajib pajak berperilaku rasional.

Berangkat dari beberapa risetnya, Aya memberikan sejumlah masukan kepada Ditjen Pajak (DJP) agar upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak berjalan lebih optimal. Untuk menggali pandangannya lebih jauh, DDTCNews menemuinya untuk sebuah wawancara. Petikannya.

Bagaimana pandangan Anda mengenai dinamika perpajakan saat ini?
Sebanyak 70% penerimaan negara masih berasal dari pajak. Artinya, pajak menjadi tulang punggung penerimaan negara. Namun demikian, struktur penerimaan pajak di Indonesia masih belum menunjukkan keadilan.

Penerimaan pajak didominasi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) badan, bukan PPh orang pribadi nonkaryawan. Jumlah wajib pajak didominasi karyawan yang pajaknya dipotong pemberi kerja. Ini menunjukkan partisipasi warga dalam membayar pajak masih rendah.

Anda banyak meriset kepatuhan pajak. Bagaimana awal mulanya dan kenapa tertarik dengan isu tersebut?
Awalnya saya membaca artikel salah satu media yang menyatakan kepatuhan wajib pajak orang pribadi di Indonesia masih rendah. Lalu, ada buku yang ditulis Devos yang menyatakan riset bagaimana membuat individu patuh pajak belum ada konsensus, definisi kepatuhan pajak juga beragam.

Alm menyatakan riset kepatuhan pajak individual termasuk riset dengan tingkat kesulitan relatif tinggi karena ketersediaan data dan keberagaman pendekatan yang digunakan.

Mengingat peran penting pajak dalam struktur penerimaan negara dan tantangan riset empiris mengenai isu perpajakan, saya tertarik melakukan riset perpajakan, khususnya perilaku wajib pajak orang pribadi.

Disertasi Anda tahun lalu juga mengenai kepatuhan wajib pajak. Bolehkah dielaborasi hasil disertasi itu?
Riset kepatuhan pajak wajib pajak orang pribadi didominasi model kepatuhan pajak yang dikemukakan Allingham dan Sandmo. Model kepatuhan ini berasumsi wajib pajak orang pribadi adalah individul yang rasional.

Oleh karena itu, untuk membuat individu patuh hanya bisa dilakukan dengan pemaksaan, yaitu melalui pemeriksaan pajak dan ancaman denda. Namun demikian, Alm menyatakan tidak semua wajib pajak termotivasi membayar pajak berdasarkan motif ekonomi.

Literatur empiris menyatakan wajib pajak dapat termotivasi membayar pajak misalnya karena alasan moral, kepercayaan, dan etika. Oleh karena itu, riset saya menggunakan asumsi bahwa tidak semua wajib pajak individu berperilaku rasional.

Berdasarkan teori lereng licin (slippery slope theory) Erich Kirchler, saya menggunakan dua faktor untuk menjelaskan kepatuhan pajak, yaitu persepsi terhadap kekuatan otoritas untuk mendeteksi dan menghukum pelaku kecurangan pajak (power of authorities) dan persepsi wajib pajak mengenai kepercayaan terhadap otoritas (trust in authorities).

Riset saya memberikan bukti empiris tidak semua wajib pajak berperilaku rasional. Karena itu, selain membangun kepercayaan wajib pajak, otoritas pajak dapat meningkatkan kepatuhan pajak sekaligus dapat menumbuhkan kepatuhan sukarela.

Riset ini juga berkontribusi pada literatur empiris yang menyimpang dari asumsi model kepatuhan pajak tradisional seperti yang ditulis Allingham dan Sandmo.

Lalu, saran apa yang Anda berikan kepada pemangku kebijakan?
Berdasarkan hasil riset itu, pemangku kebijakan dapat menempuh alternatif strategi selain strategi dengan pemeriksaan dan denda, yaitu dengan menciptakan hubungan antara wajib pajak dan otoritas berdasarkan kepercayaan.

Ketika berhubungan dengan wajib pajak, otoritas sebaiknya berasumsi pada dasarnya wajib pajak adalah individu yang baik. Dengan demikian, kesalahan wajib pajak tidak harus dikenakan hukuman sesuai dengan peraturan pajak.

Jika kesalahan terjadi karena ketidaktahuan, fiskus dapat melakukan pembinaan sehingga kesalahan tersebut tidak terulang pada periode berikutnya. Jika kesalahan dilakukan dengan sengaja dan terus berulang maka penegakan hukum dapat menjadi strategi yang tepat.

Pemerintah juga perlu melakukan kampanye yang memberi informasi bahwa dana pajak benar-benar digunakan untuk kepentingan publik. Hal ini penting untuk menciptakan kesadaran dan kesukarelaan dalam membayar pajak.  

Dari beberapa riset Anda tentang kepatuhan pajak, pendekatan apa yang paling ideal untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak?
Ada tiga riset mengenai perilaku wajib pajak orang pribadi. Beberapa literatur, baik dari Andreoni, Devos, Kirchler, dan Alm, tidak menyatakan pendekatan yang paling ideal untuk membuat [patuh] wajib pajak.

Namun, literatur tersebut sepakat pendekatan tradisional berupa pemeriksaan dan denda saja tidak cukup untuk membuat wajib pajak patuh. Hal ini karena isu kepatuhan pajak yang kompleks.

Kirchler dan Alm menyatakan perlu pendekatan komprehensif untuk membuat individu patuh. Pendekatan yang komprehensif, yaitu pendekatan ekonomi dan pendekatan psikologis kepada wajib pajak.

Braithwaite bahkan menekankan perlunya otoritas pajak menerapkan responsive regulatory approach, yaitu penegakan hukum harus melihat konteks kesalahan yang dilakukan wajib pajak.

Pendekatan ini berasumsi pada dasarnya wajib pajak adalah individu yang dapat dipercaya dan memiliki niat baik dalam memenuhi kewajiban perpajakan.  

Pandemi Covid-19 banyak mengubah cara kerja DJP, termasuk pemeriksaan. Bagaimana pandangan Anda?
Remote auditing memiliki kelebihan dan juga kelemahan. Remote auditing dapat menekan biaya perjalanan, meningkatkan intensitas review. Namun, ada beberapa kelemahan remote auditing yang perlu diatasi. Misalnya, tidak mungkin untuk melakukan prosedur observasi.

Pemeriksa sulit mengamati bahasa tubuh dan aktivitas operasional dari auditee sehingga kemungkinan menghambat auditor untuk memberikan penilaian mengenai best practice dari aktivitas auditee. Kurangnya interaksi langsung dalam pemeriksaan online juga lebih memungkinkan fraud.

Informasi penting dan relevan lebih mudah disembunyikan oleh auditee. Agar pemeriksaan online dapat efektif maka pemeriksa harus melakukan perencanaan audit dengan lebih cermat.

Kemudian juga menyiapkan prosedur audit tambahan, dan harus kreatif menyiasati hambatan dalam pemeriksaan online. Hal-hal tersebut mutlak dilakukan agar efetivitas pemeriksaan online sebanding dengan pemeriksaan tatap muka.

Pada musim SPT tahun ini, ada 11 juta lebih wajib pajak orang pribadi yang melapor, naik 24,8%. Bagaimana pandangan Anda?
Ini adalah hal baik dan mengindikasikan kesadaran wajib pajak orang pribadi untuk memenuhi kewajiban formal menjadi makin baik. Hal ini juga mengindikasikan DJP telah melakukan tugas dengan baik dalam hal administrasi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT).

Saat ini, pelaporan SPT sudah makin mudah dan sederhana, ada pelaporan online yang mudah dan praktis, serta penyediaan account representative yang memberi pendampingan dengan baik dan nyaman kepada wajib pajak orang pribadi dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

Peningkatan pelaporan SPT menunjukkan peran penting pemberi kerja sebagai pemotong pajak penghasilan karyawan dalam mendorong karyawan untuk memenuhi kewajiban lapor SPT.

Seperti di instansi tempat saya bekerja, universitas bekerja sama dengan kantor pelayanan pajak untuk menyediakan jasa konsultasi pengisian SPT di kampus selama masa pengisian SPT. Hal ini sangat membantu bagi wajib pajak yang ingin lapor tapi mungkin tidak paham cara mengisi SPT.

Hal lain yang penting untuk diinvestigasi adalah DJP perlu memastikan apakah kenaikan kepatuhan formal tersebut juga disertai dengan kepatuhan material dalam pelaporan SPT.

Kalau mengenai pelaporan SPT wajib pajak badan?
Pelaporan SPT wajib pajak badan relatif lebih kompleks dibandingkan dengan wajib pajak orang pribadi. Wajib pajak badan harus melampirkan laporan keuangan dalam SPT. Laporan keuangan tersebut selain harus sesuai dengan standar akuntansi juga harus sesuai dengan peraturan pajak.

Dengan kondisi seperti ini, pemeriksaan dapat menjadi strategi yang efektif untuk mendeteksi jika ada kecurangan pajak. Jika memungkinkan, DJP dapat meningkatkan jumlah denda atas keterlambatan pelaporan SPT wajib pajak badan.

Pemerintah memberikan beberapa relaksasi pajak pada masa pandemi ini. Apakah relaksasi itu akan mendorong kepatuhan wajib pajak?
Pajak dapat digunakan sebagai instrumen untuk stimulus ekonomi, misalnya penurunan tarif pajak untuk mendorong produktivitas. Salah satu relaksasi pajak lain misalnya dalam UU Cipta Kerja yaitu penurunan sanksi administrasi perpajakan.

Beban sanksi administrasi yang makin rendah bukan berarti menurunkan efek jera dari denda pajak. Namun, hal tersebut menunjukkan aspek keadilan dari sistem perpajakan.

Tidak sengaja membuat kesalahan dan juga besarnya denda yang dapat menghambat cash flow pada masa pandemi seperti ini menjadi pertimbangan penetapan sanksi administrasi dalam UU Cipta Kerja.

Terciptanya keadilan dalam sistem perpajakan dapat mendorong kepatuhan pajak ataupun meningkatkan motivasi untuk membayar pajak. Literatur empiris pun menunjukkan aspek keadilan dalam sistem perpajakan berperan penting dalam meningkatkan kepatuhan pajak.

Menurut Anda, apakah penegasan hak wajib pajak dan fiskus sudah terakomodasi secara ideal pada UU Cipta Kerja?
UU Cipta Kerja mengakomodasi beberapa isu yang selama menjadi ganjalan dalam hubungan antara wajib pajak dan fiskus dalam sistem perpajakan di Indonesia.

Setidaknya ada 3 hal yang dapat dicermati. Pertama, UU Cipta Kerja menghapus pengenaan pajak atas dividen yang selama ini menjadi momok pengusaha dan merupakan pajak berganda.

Dividen dikecualikan dari objek pajak sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu.

Kedua, UU Cipta Kerja menghapus PPN atas barang konsinyasi. Hal ini tentu meringankan dan tidak merepotkan pedagang. Ketiga, penurunan tarif pajak penghasilan dan juga sanksi administrasi makin menunjukkan aspek keadilan dalam sistem perpajakan Indonesia.

DJP tengah memperbarui core tax system yang disebut akan menjadi pondasi peningkatkan kepatuhan wajib pajak. Pandangan Anda?
Pembaruan core tax system mutlak diperlukan untuk update sistem administrasi perpajakan. Praktik bisnis yang makin berkembang tentunya memerlukan dukungan sistem teknologi informasi yang mumpuni agar DJP dapat memantau aktivitas wajib pajak dan mencegah penggelapan pajak.

Apa harapan Anda kepada pemangku kebijakan untuk memperbaiki kepatuhan wajib pajak?
Harapan saya, kepatuhan pajak khususnya wajib pajak orang pribadi tidak hanya didasarkan pada rasa takut terhadap ancaman pemeriksaan dan denda.

Namun, yang lebih penting, pemangku kepentingan dapat membuat kebijakan yang dapat menumbuhkan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak secara sukarela. (Kaw/Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.