Ilustrasi. Gedung Ditjen Pajak. (foto: Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah mencabut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 48/2020 dan menggantikannya dengan PMK 60/2022 bertujuan untuk memperkuat landasan hukum dari pemungutan PPN PMSE.
Kasubdit PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Ditjen Pajak (DJP) Bonarsius Sipayung mengatakan PMK 48/2020 ditetapkan sebagai aturan turunan Perppu 1/2020 atau UU 2/2020 yang notabene merupakan landasan hukum atas kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19.
"Kepentingan kami untuk mengubah PMK ini adalah karena ada putusan MK yang mengatakan UU 2/2020 itu bersifat sementara. Dengan kata lain, nanti suatu saat akan dicabut," katanya, dikutip pada Minggu (17/4/2022).
Contohnya, pandemi sudah dinyatakan usai maka UU 2/2020 menjadi tidak bisa digunakan sebagai landasan hukum. Hal ini tentunya bisa berimplikasi terhadap PMK 48/2020 selaku dasar hukum pemungutan PPN PMSE.
"Jadi dasar kami mengubah ini adalah PMK 48/2020. Kami ganti dengan PMK yang baru ini tentunya untuk memperkuat dasar hukumnya, di samping tadi penyesuaian tarif," tuturnya.
Bila diperhatikan pada bagian pertimbangan dari PMK 60/2022, PMK tersebut disusun untuk melaksanakan Pasal 44E ayat (2) huruf f UU KUP dan bukan untuk melaksanakan Perppu 1/2020 ataupun UU 2/2022 sebagaimana pada PMK sebelumnya.
Pada Pasal 44E ayat (2) huruf f UU KUP, pemerintah mendapatkan amanat untuk mengatur lebih tentang penunjukan, pemotongan, pemungutan, penyetoran, serta pelaporan pajak yang dipotong atau dipungut pihak lain sesuai dengan Pasal 32A ayat (2) UU KUP.
Pasal 32A UU KUP adalah pasal baru yang disisipkan ke dalam UU KUP melalui UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Melalui pasal tersebut, menteri keuangan berhak menunjuk pihak lain untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak. Pihak lain yang dimaksud adalah subjek pajak dalam negeri atau luar negeri yang terlibat langsung dalam transaksi ataupun yang hanya memfasilitasi transaksi. (rig)