Gedung BKF.
JAKARTA, DDTCNews - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu mengungkapkan pembahasan solusi 2 pilar untuk mengatasi tantangan perpajakan internasional masih terus berjalan.
Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan Presidensi G-20 Indonesia berkomitmen untuk melanjutkan pembahasan mengenai konsensus pajak global, dari yang telah dicapai pada Presidensi Italia. Dia berharap kesepakatan pajak global itu dapat segera rampung sehingga bisa diterapkan secara efektif.
"Di Presidensi Indonesia, kita lanjutkan. Tinggal nanti apakah implementasinya tahun ini atau tahun depan, itu yang memang masih sedang dibicarakan," katanya, dikutip pada Senin (4/7/2022).
Febrio mengatakan pembahasan mengenai kesepakatan perpajakan global di Presidensi Italia 2021 telah memberikan hasil yang positif. Saat itu, para pemimpin negara G-20 sepakat untuk mengimplementasikan kesepakatan pajak global mulai 2023.
Beranjak ke Presidensi Indonesia 2022, negara anggota G-20 akan membahas kelanjutan kesepakatan internasional mengenai perpajakan yang mencakup 2 pilar. Proposal Pilar 1: Unified Approach telah diusulkan sebagai solusi yang menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital karena tidak lagi berbasis kehadiran fisik.
Pilar 1 mengatur perusahaan multinasional dengan peredaran bruto dan keuntungan tertentu. Dalam hal ini, pilar tersebut akan dapat dikenakan pada sektor digital yang selama ini menjadi isu antara negara G-20 dan seluruh dunia.
Kemudian, Pilar 2: Global anti-Base Erosion Rules (GloBE), diyakini dapat mengurangi kompetisi pajak serta melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak minimum secara global. Pilar tersebut akan menjadi solusi pemajakan pada perusahaan-perusahaan yang bergerak antarnegara sehingga memungkinkan terjadinya upaya menghindari pajak.
Tarif pajak minimum akan dikenakan pada perusahaan multinasional yang memiliki peredaran bruto tahunan EUR750 juta atau lebih. Dengan pajak minimum, persaingan tarif yang tidak sehat di antara negara-negara yang selama ini terjadi bisa dihentikan.
Febrio berharap pembahasan mengenai kesepakatan perpajakan global dapat terus berlanjut meski dalam situasi ekonomi dan geopolitik yang tidak menentu. Pada saat ini, tensi geopolitik masih panas karena Amerika Serikat masih menjatuhkan sanksi tambahan kepada Rusia akibat invasi yang dilakukan negara tersebut ke Ukraina.
"[Soal AS yang sempat mengancam tidak akan hadir pada KTT G-20 jika ada Rusia] nggak ada hubungannya [dengan pembahasan konsensus pajak]," ujarnya.
Implementasi konsensus perpajakan global tersebut dinilai akan memberikan dampak positif bagi Indonesia. Pada pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut kesepakatan perpajakan internasional akan mempersempit ruang wajib pajak melakukan upaya penghindaran pajak, terutama setelah periode program pengungkapan sukarela (PPS).
Meski demikian, OECD baru-baru ini juga menyatakan tengah merancang proposal mengenai penundaan implementasi konsensus pajak, khususnya Pilar 1, lantaran negara-negara anggota Inclusive Framework harus menyepakati multilateral convention (MLC) untuk mengimplementasikan Pilar 2. (sap)