PADA seri sebelumnya, telah diulas pasang surut peran pajak dalam pembangunan Indonesia. Mulai dari tantangan pendanaan republik yang masih muda (1945-1966), pembangunan dari berkah minyak (1967-1983), dan tinta emas reformasi pajak (1984-1997). Selanjutnya, terdapat format baru pengelolaan keuangan negara (1998-2004), dan liku-liku pajak di era yang kian kompleks (2005-2020).
Tujuh puluh lima tahun sudah Indonesia merdeka. Telah banyak pelajaran yang dapat kita petik. Di atas itu semua, terdapat satu simpulan utama.
Secara gradual dan antarwaktu, peran pajak dalam pembangunan Indonesia makin mengemuka. Pajak, sebagai instrumen fiskal, kian lekat dengan berbagai tujuan pembangunan bangsa.
Mulai dari perannya untuk mendanai berbagai program kesejahteraan, alokasi sumber daya ekonomi, tata kelola pemerintahan yang demokratis, kontrak fiskal, sarana pemersatu, instrumen daya saing, kesetaraan, dan sebagainya.
Secara tidak langsung, ini mengonfirmasi pendapat Owens (2009). Dalam konteks pembangunan, pajak tidak hanya berperan sebagai sumber penerimaan dan alat mencapai pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut lagi, pajak turut berperan dalam kelembagaan dan demokrasi.
Selama tujuh puluh lima tahun merdeka, upaya mengedepankan pajak dalam konteks pembangunan juga bersifat estafet. Rezim yang satu dengan yang lainnya saling mengoreksi dan melengkapi guna mewujudkan format yang ideal dan paripurna. Setiap periode tentu memiliki tantangan dan kendalanya masing-masing. Namun, itu tidak pernah menyebabkan adanya kemandekan.
Walau makin membaik, peran tersebut belum sedemikian optimal. Dalam hal ini, rapor tax ratio bisa jadi indikasi utama. Hingga saat ini kita masih belum mencapai angka minimum tax ratio yang diajukan oleh IMF (Gaspar, et. al., 2019) yakni sebesar 15%. Target tersebut diperlukan dalam rangka menjamin pembangunan yang berkesinambungan.
Menariknya, terdapat dua literatur yang sejatinya dapat merefleksikan gambaran historis pajak di Indonesia. Pertama, tulisan Richard M. Bird berjudul Taxation and Development: What Have We Learned from Fifty Years of Research (2012).
Kedua, buku karangan Vito Tanzi, The Ecology of Tax Systems: Factors that Shape the Demand and Supply of Taxes (2019).
Pada dasarnya, kedua tulisan itu tidak secara spesifik mengangkat kasus tentang Indonesia. Perlu kita pahami, Bird dan Tanzi merupakan ahli pajak yang memiliki pengalaman panjang dalam mengamati, meneliti, dan mendesain sistem pajak di berbagai negara.
Tidak heran jika kedua tulisan tersebut lebih bersifat filosofis, rangkuman tren global, dan mengambil benang merah keterkaitan antarperistiwa.
Bird menyatakan perkembangan area pajak di berbagai negara dapat dikategorikan dalam tiga model, Tax Model 1.0, 2.0, dan 3.0. Seiring perkembangan zaman serta dinamika ekonomi-sosial-politik, kini kita telah berada di era Tax Model 3.0. Cirinya, sistem pajak tidak merujuk kepada suatu mazhab, sistem, dan blueprint tertentu.
Sistem pajak justru harus didesain secara customized dengan mempertimbangkan kebutuhan ‘pelanggan’ yakni masyarakat dan sasaran yang hendak dicapai. Oleh sebab itu, pemerintah perlu fokus pada dua area penting, yaitu administrasi pajak dan aspek politik.
Berikutnya, Tanzi memperlihatkan bahwa seiring berjalannya waktu, sistem pajak tidak hanya ditujukan semata-mata untuk penerimaan, tetapi juga untuk mencapai berbagai tujuan lainnya. Tujuannya bisa bervariasi dan saling bertolak belakang, bahkan pada waktu yang bersamaan.
Akan tetapi, berbagai tujuan tersebut (sisi permintaan) akan dipengaruhi oleh situasi di setiap negara. Situasi tersebut mencakup struktur ekonomi, situasi makroekonomi, teknologi, globalisasi, dan perkembangan lainnya semisal desentralisasi.
Oleh Tanzi, hal-hal tersebut dikelompokkan sebagai sisi penawaran. Interaksi antara demand dan supply tersebut serta interaksi antarpemangku kepentinganlah yang akan menentukan wujud peran pajak dalam pembangunan di setiap negara.
Lantas, bagaimana kita harus memandang peran pajak dalam pembangunan Indonesia di masa mendatang? Ekosistem pajak di Indonesia sejatinya telah menyediakan pra-kondisi kita ke arah yang lebih ideal.
Perkembangan teknologi administrasi pajak, kestabilan pertumbuhan, edukasi pajak, hingga dorongan transparansi, relatif sudah kita capai. Adanya bonus demografi serta meningkatnya kelas menengah Indonesia juga menjadi hal-hal potensial baru lainnya.
Selain itu, ide Tanzi mengenai ekosistem pajak sejatinya tidak hanya mendorong kita untuk lebih jeli dalam memetakan berbagai kelemahan, tetapi juga upaya untuk mengatasinya.
Dalam hal ini, kerjasama antarpemangku kepentingan perlu semakin ditonjolkan. Seyogyanya, pajak menjadi tanggung jawab dan wujud gotong royong kita sebagai anak bangsa.
Merujuk kepada ide Bird, faktor politik selalu jadi elemen penentu. Politik akan menentukan bentuk, agenda, dan peran pajak Indonesia dalam pembangunan.
Lebih penting lagi, faktor inilah yang bisa menjadi katalis kolaborasi antarkelompok masyarakat untuk secara bersama-sama mewujudkan keberhasilan peran pajak menuju Indonesia Emas 2045. Pajak Kuat, Indonesia Maju.