PERAN PAJAK DALAM PEMBANGUNAN DARI MASA KE MASA (3)

Pembangunan dari Berkah Minyak (1967-1983)

Rabu, 19 Agustus 2020 | 16:10 WIB
Pembangunan dari Berkah Minyak (1967-1983)
,

SETELAH melihat peran pajak pada era awal Republik Indonesia merdeka di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno (1945—1966), artikel kali ini akan mengulas kondisi pada era awal kepemimpinan Presiden Soeharto (1967—1983).

Artikel ini merupakan seri ketiga dari analisis dengan topik “Peran Pajak dalam Pembangunan dari Masa ke Masa” yang dirilis DDTC Fiscal Research bersamaan dengan momentum HUT ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada awal kepemimpinan Presiden Soeharto, perekonomian berada pada situasi yang tidak menggembirakan. Mulai dari pertumbuhan ekonomi yang stagnan, hyper-inflation, krisis politik, kemiskinan yang tinggi, hingga masalah ketersediaan pangan menjadi hal-hal urgen untuk diselesaikan. Sayangnya, kas negara dalam keadaan kosong.

Tim ekonomi pemerintahan baru bergerak cepat. Pertama, mengubah format APBN dengan prinsip anggaran berimbang dan dinamis. Format tersebut disusun untuk menertibkan defisit anggaran, khususnya mencegah pembiayaan defisit melalui pencetakan uang baru. Walau demikian, APBN berimbang memungkinkan defisit anggaran untuk dibiayai melalui utang luar negeri.

Pendapatan negara kini terdiri atas penerimaan perpajakan, PNBP, serta penerimaan luar negeri yang berasal dari pinjaman lunak negara lain atau donor. Filosofi format APBN tersebut tidak dapat dilepaskan dari keinginan untuk memperluas ruang gerak pemerintah dalam pembangunan ekonomi. (Seda, 2004)

Kedua, pembangunan dilakukan secara terencana dan sistematis melalui suatu program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Pelita kemudian tercermin dalam suatu format APBN yang memiliki ketetapan hukum, serta harus disetujui dan diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini dilakukan agar pembangunan disiplin, terpola, dan tidak dapat diselewengkan untuk kepentingan lain.

Kedua strategi tersebut dan ditambah kuatnya pendapatan negara dari ‘berkah minyak’ memungkinkan berbagai program pembangunan berbasis kebutuhan pokok. Tiga di antaranya ialah Bimas/Inmas sektor pertanian, Keluarga Berencana, serta SD Inpres (Syahrir, 1986).

Akibatnya, pembangunan di Indonesia selama era Presiden Soeharto tidak hanya berhasil memberikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Angka melek huruf, angka harapan hidup, hingga pendapatan perkapita masyarakat Indonesia turut meningkat drastis.

Kemiskinan dan distribusi pendapatan juga dapat dikelola dengan baik. Sebagai ilustrasi, tingkat kemiskinan turun dari 40,1% (1976) menjadi 17,5% (1996). Ini merupakan pencapaian yang sangat mencengangkan. (World Bank, 1997)

Lalu, bagaimana peran pajak pada masa 1967-1983 ini?

Pertama, anggaran pembangunan di Indonesia masih memiliki ketergantungan yang relatif tinggi terhadap sektor sumber daya alam (SDA), khususnya minyak bumi. Perlu dicatat, Indonesia saat itu masih net-exporting country.

Pada periode 1970-an, kilang-kilang minyak Indonesia masih mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri dan sekaligus juga memungkinkan untuk adanya ekspor produk-produk olahan minyak (Nitisastro, 1985). Adanya lonjakan kenaikan harga minyak bumi internasional, yaitu pada 1973—1974, 1979, dan 1982 jelas memberikan berkah. Minyak bumi Indonesia, minyak Minas, juga turut meningkat harganya.

Implikasinya, ekspansi belanja negara dimungkinkan tanpa upaya keras dalam meningkatkan penerimaan sektor perpajakan. Tidak mengherankan jika pada 1980, pendapatan pajak nonmigas hanya kurang dari 30% dari seluruh penerimaan perpajakan.


Kedua, turunnya kontribusi pajak perdagangan internasional. Hal ini dipicu oleh perubahan paradigma pengelolaan fiskal. Pada masa Orde Lama, pajak perdagangan internasional lebih berorientasi bagi penerimaan. Pada dekade 1970—1980-an, pajak perdagangan internasional, terutama bea masuk serta pajak penjualan impor, lebih ditujukan sebagai alat untuk memproteksi industri dalam negeri sehubungan dengan kebijakan substitusi impor (Booth and McCawley, 1982).

Ketiga, desain sistem pajak. Selama 1967—1983 terdapat dua terobosan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan semuanya dilakukan sebelum masa ‘berkah minyak’.

Sistem administrasi pajak diperbaiki melalui diperkenalkannya sistem Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang lain (MPO) melalui Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1967. MPS dan MPO bisa diterapkan atas pajak pendapatan, pajak perseoran, serta pajak kekayaan.

Tujuannya untuk meningkatkan kepatuhan serta menjaga terisinya kas negara secara berkala. Keduanya di kemudian hari akan menjadi cikal bakal sistem self-assessment dan withholding tax.

Keberhasilan mekanisme MPO tercermin dalam realisasi APBN. Jika pada tahun anggaran 1969/70 kontribusinya hanya 8% dari total penerimaan dalam negeri nonmigas, pada 1977/78 angkanya telah mencapai 13% atau satu pertiga dari penerimaan pajak langsung.


Pemerintah juga turut melakukan perluasan basis pajak atas penghasilan pasif melalui perubahan atas Ordonansi Pajak Dividen 1959 melalui UU Nomor 10 Tahun 1970. Perubahan tersebut terutama dengan adanya pengaturan atas pajak bunga dan royalti.

Keempat, penggunaan instrumen pajak sebagai alat mendorong daya saing. Melalui UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, pemerintah memberikan pembebasan pajak dividen dan perseroan (tax holiday).

Skema tersebut diberikan selama tidak lebih dari 5 tahun sejak masa produksi, termasuk tambahan 5 tahun atas penanaman modal kembali. Setelah periode tax holiday berakhir, pemerintah juga akan memberikan 50% keringanan pajak selama maksimal 5 tahun.

Meskipun bukan menjadi faktor penentu utama aliran modal, adanya insentif pajak tersebut menunjukkan paradigma pajak yang bersifat regulerend serta sinyal keterbukaan pemerintah kepada investor asing.

Kelima, pajak dan ketimpangan. Tingginya pertumbuhan ekonomi menimbulkan dampak lain, yakni ketimpangan. Kendati tidak tercermin dalam angka-angka statistik, berbagai peristiwa politik yang mengkritik model pembangunan Orde Baru bisa jadi indikasi.

Melalui jargon Trilogi Pembangunan dan 8 Jalur Pemerataan, pemerintah berupaya mengatasi hal ini. Menariknya, pada saat itu, pajak pendapatan memiliki 19 lapisan golongan dengan tarif tertinggi sebesar 50%.

Sayangnya, penggolongan yang berlapis, rumit, serta dijalankan oleh sistem birokrasi yang tidak terlalu ‘bersih’ tersebut justru rawan dimanipulasi. Dengan kata lain, sistem pajak pemerintah dirasa tidak efektif dalam mengurangi ketimpangan (Booth and McCawley, 1982).

Sebagai informasi kembali, artikel analisis ini akan terdiri atas tujuh seri yang akan dipublikasikan setiap harinya mulai Senin (17/8/2020) hingga Minggu (23/8/2020). Setelah membahas peran pajak pada era awal kepemimpinan Presiden Soeharto (1967—1983), artikel berikutnya akan membahas terkait dengan era Presiden Soeharto II (1984—1997). Jadi, jangan lewatkan analisis seri selanjutnya.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

BERITA PILIHAN