PERAN PAJAK DALAM PEMBANGUNAN DARI MASA KE MASA (1)

Menyelami Sejarah, Menatap Masa Depan

Senin, 17 Agustus 2020 | 16:40 WIB
Menyelami Sejarah, Menatap Masa Depan
,

BERTEPATAN dengan momentum HUT ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia, DDTC Fiscal Research kembali merilis analisis berseri dengan topik “Peran Pajak dalam Pembangunan dari Masa ke Masa”. Pada seri perdana kali ini, akan dipaparkan terlebih dahulu mengenai gambaran besar dan benang merah mengenai peran pajak dalam dinamika pembangunan di Indonesia selama tiga perempat abad terakhir.

Analisis berseri ini akan memaparkan hal-hal tersebut dengan melihat sejarah pajak di Indonesia dari masa ke masa. Dalam pemaparannya, konteks situasi ekonomi dan kebijakan fiskal juga akan turut dipaparkan. Walau disinggung sedikit, kinerja penerimaan pajak (kemampuan mengoptimalkan penerimaan pajak) bukan menjadi analisis kunci dari tulisan ini.

Artikel analisis ini akan terdiri atas tujuh seri yang akan dipublikasikan setiap harinya mulai Senin (17/8/2020) hingga Minggu (23/8/2020). Pembagian masa akan dikelompokkan menjadi lima, yaitu 1945—1966 (era Presiden Soekarno), 1967—1983 (era Presiden Soeharto I), 1984—1997 (era Presiden Soeharto II), 1998—2004 (era Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri), dan 2005—2019 (era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo). Jadi, jangan lewatkan kelanjutan analisis berseri ini tiap harinya.

*****

PAJAK sejatinya tidak hanya berfungsi sebagai sumber penerimaan negara, pendorong alokasi sumber daya yang efisien, dan proses redistribusi pendapatan. Lebih penting lagi, pajak berperan penting dalam proses pembangunan bangsa (state building) (Brautigam, 2008).

Peran pajak dalam state building dapat dilihat dari dua area mendasar. Pertama, meningkatnya kontrak sosial karena didorong daya tawar atas pemajakan yang kemudian dapat mempercepat demokrasi representatif. Kedua, adanya perhatian penuh atas penerimaan yang akan menstimulus adanya perbaikan institusi dan pada akhirnya dapat memperkuat kapasitas negara.

Kedua hal tersebut pada akhirnya menciptakan legitimasi negara dan menambah derajat pertanggungjawaban (akuntabilitas) antara negara dan masyarakat. Ide ini juga sejalan dengan premis Fukuyama (2004) tentang pentingnya memperkuat peran negara di Abad-21. Tanpa adanya kemampuan untuk memungut penerimaan, kemampuan negara dalam menyediakan kesejahteraan dan keadilan sosial sangatlah terbatas.

Peran pajak dalam anggaran negara juga memberikan pemahaman tentang proses menuju fiscal state (negara-fiskal) yang diajukan oleh Ormrod dan Bonney (1999). Menurut model tersebut, fiscal state tidak hanya mengacu pada kondisi adanya kebutuhan yang meningkat dari perpajakan (tax state). Lebih lanjut lagi, desain sistem pajak menjadi bagian tidak terpisahkan dari postur anggaran yang mengacu pada situasi ekonomi, politik, dan suara publik.

Dalam konteks ini, pajak bukan sesuatu yang diterjemahkan semata-mata atas kekuasaan atau paksaan dalam mengambil hak privat warganya, tetapi menjadi sarana partisipasi publik (Waris, 2013). Dengan kata lain, peran pajak seharusnya tidak hanya dibaca sebagai angka-angka statistik dalam suatu siklus fiskal yang naik-turun. Dokumen anggaran dalam periode jangka panjang adalah cermin postur fiskal dan pajak yang dapat memberikan suatu gambaran proses state-building di tiap negara.

Lantas, seberapa besarkah peran pajak di Indonesia sebagai komponen pendapatan negara? Apa hal-hal yang dapat menjelaskan tren jangka panjang kontribusi pajak tersebut? Bagaimana implikasinya bagi proses state-building dan tahapan menuju fiscal-state?

Gambaran Besar
SETIDAKNYA terdapat tujuh hal penting yang bisa kita pelajari dari sejarah peran pajak dalam pembangunan Indonesia selama 75 tahun (1945-2020).

Pertama, peran pajak dalam pembangunan Indonesia pada dasarnya semakin meningkat antarwaktu. Hal ini terutama jika ditinjau dari kontribusi pajak dalam postur pendapatan APBN yang kini telah mencapai lebih dari 70%.

Besarnya proporsi tersebut menggarisbawahi peran pemerintah dalam pembangunan (size of the government) akan sangat tergantung dari ketersediaan uang pajak. Dengan ketergantungan yang tinggi tersebut, keberhasilan kinerja pemungutan pajak sejatinya akan menjamin ketahanan fiskal Indonesia sekaligus menciptakan state building di Indonesia.

Kedua, faktor sumber daya alam (SDA). Dalam kasus Indonesia, kita mencermati determinan utama keinginan untuk membenahi peran pajak meningkat seiring dengan ada atau tidaknya shock terhadap kontribusi SDA, baik atas PPh migas, PNBP SDA, hingga pajak ekspor komoditas.

Turunnya permintaan dan harga internasional atas komoditas unggulan Indonesia cenderung meningkatkan keinginan untuk memobilisasi penerimaan pajak dan sebaliknya. Lihat saja kondisi fiskal saat dan pasca Korean boom 1951-1953, oil boom 1982, atau commodity boom 2005-2008. Singkatnya, kontribusi sektor SDA berpengaruh bagi pasang surut peran pajak.

Ketiga, politik. Saat ini, demokrasi dianggap sebagai sistem yang kompatibel dalam menjamin kontribusi pajak. Menurut Ross (2004), demokrasi dan pajak adalah dua hal yang saling memengaruhi. Demokrasi mendorong kepatuhan pajak yang lebih baik sehingga meningkatkan penerimaan. Namun, upaya untuk memajaki lebih banyak juga mempercepat kematangan demokrasi.

Optimalisasi penerimaan pajak pada masa prademokrasi umumnya akan menciptakan demand (gejolak) atas ketersediaan barang/jasa publik. Sebagai contoh, pemberlakuan pungutan ekspor yang tinggi pada 1950-an menjadi salah satu terciptanya isu ketimpangan pusat-daerah, kritik dari daerah yang kaya SDA, dan pemberontakan di beberapa daerah.

Menariknya, di Indonesia, khususnya pasca-1998, sistem demokrasi yang menjadi salah satu faktor prakondisi optimalisasi ternyata hanya menghasilkan peningkatan kontribusi sektor pajak yang berjalan secara perlahan. Selain karena reformasi belum menjamin secara penuh ruang demokrasi ekonomi dan hak-hak wajib pajak, agaknya faktor kepemimpinan politik juga turut berpengaruh.

Keempat, faktor sosial, sejarah, dan budaya. Ketiganya turut membentuk moral pajak di suatu negara. Untuk kasus Indonesia di awal kemerdekaan, pajak justru dianggap sebagai cermin warisan kolonialisme yang mana memperoleh resistensi dari masyarakat (Subroto, 2019). Simak pula artikel ''Kebijakan Pajak Ini akan Membunuh''.

Sejarah pembangunan di Indonesia juga memperlihatkan tidak adanya upaya serius dan berkelanjutan dalam membentuk masyarakat melek pajak – atau setidaknya sadar pajak –. Upaya pendidikan melalui program inklusi pajak baru dimulai beberapa tahun lalu. Selain itu, tata kelola keuangan negara di masa lalu yang sarat dengan perilaku korupsi juga turut berpengaruh dalam membangun kepercayaan dari masyarakat.

Kelima, pajak dan ekonomi. Dalam kondisi ideal, kontribusi pajak yang dapat dikumpulkan oleh pemerintah akan semakin membesar dalam kondisi perekonomian yang membesar. Sayangnya, hal tersebut bukan sesuatu yang sepenuhnya terjadi di Indonesia.

Pada periode Orde Lama, awal Orde Baru, serta pascakrisis 1998, rendahnya penerimaan pajak dapat dipahami. Namun, meminjam ide dari Booth (1998) yang terjadi justru missed opportunities. Pada masa ekonomi stabil dan melaju baik, kebijakan countercyclical melalui pemungutan pajak justru abai dilakukan.

Struktur ekonomi Indonesia juga membentuk struktur penerimaan pajak Indonesia. Tingginya sektor informal, model konglomerasi, dan ketergantungan pada sektor komoditas secara tidak langsung juga mempertahankan dominasi penerimaan pajak tidak langsung dan PPh badan.Simak pula artikel ''Penggelapan Pajak adalah Olahraga Nasional'.

Keenam, desentralisasi fiskal. Hingga akhir abad-20, model pemerintah sentralistik di Indonesia memberikan konsekuensi bahwa pembangunan daerah akan sangat tergantung dari kebijakan fiskal pemerintah pusat. Implikasinya, kecemburuan dan ketimpangan antardaerah timbul. Simak pula artikel 'Membangun Indonesia dari (Pajak) Daerah'.

Adanya desentralisasi fiskal yang dimulai sejak 1999 sejatinya 'memaksa' kebutuhan porsi dana alokasi daerah yang lebih besar – kini disebut sebagai Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) – ataupun delegasi revenue assignment beberapa jenis pajak kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Sayangnya, kemandirian fiskal daerah yang masih rendah justru menimbulkan pertanyaan mengenai keberhasilan sistem ini.

Ketujuh, interaksi global. Pajak sebagai instrumen untuk meningkatkan daya saing di tingkat global telah dipergunakan sejak masa awal Orde Baru, melalui rezim tax holiday.

Selain itu, sejak 1980-an hingga saat ini, globalisasi secara gradual turut mewarnai arah sistem pajak Indonesia. Keterlibatan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B), ketentuan antipenghindaran pajak, pengadopsian semi-dual income tax, hingga kerjasama transparansi global telah menjadi agenda nasional.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 19 April 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Penghitungan PPh 21 atas Upah Borongan di atas Rp 2,5 Juta per Hari

Jumat, 19 April 2024 | 10:30 WIB PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Pemprov Kaltim Atur Ulang Ketentuan Pajak Daerah, Ini Perinciannya

Jumat, 19 April 2024 | 10:00 WIB KEPATUHAN PAJAK

Jelang Deadline, DJP Ingatkan WP Segera Sampaikan SPT Tahunan Badan

Jumat, 19 April 2024 | 09:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara Masuk Draf RKP 2025

BERITA PILIHAN