TAJUK PAJAK

Menyongsong Implementasi Ketentuan Baru Pajak Internasional

Redaksi DDTCNews | Kamis, 29 Desember 2022 | 14:00 WIB
Menyongsong Implementasi Ketentuan Baru Pajak Internasional

MENJELANG akhir 2022, pemerintah telah menerbitkan 4 peraturan (PP) yang menjadi aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Bila dicermati, setidaknya ada 3 bab yang mengatur ketentuan pajak internasional.

Pertama, Bab IX PP 50/2022 terkait dengan penerapan prosedur persetujuan bersama atau mutual agreement procedure (MAP). Seperti diketahui, MAP dilakukan untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B).

Kedua, Bab VII PP 55/2022 tentang instrumen pencegahan penghindaran pajak, yaitu dengan prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya atau biasa dikenal dengan substance over form.

Baca Juga:
Bentuk UN Tax Convention, G-7 Ungkap Pentingnya Konsensus dalam Pajak

Ketiga, Bab VIII PP 55/2022 mengenai penerapan perjanjian internasional di bidang perpajakan. Bab ini memuat pasal yang menjadi pintu masuk ketika konsensus global tentang solusi atas tantangan pemajakan akibat digitalisasi ekonomi, termasuk penerapan pajak minimum global.

Adanya ketiga bab tersebut menunjukkan perkembangan dunia internasional telah makin kuat memengaruhi dinamika lanskap pajak Indonesia. Bagaimanapun, transaksi lintas batas dalam aktivitas ekonomi makin tak terbendung. Hal ini makin menguatkan perlunya pengaturan pajak internasional.

Kita perlu ingat, perkembangan yang terjadi saat ini juga tidak terlepas dari adanya Proyek Anti-BEPS. Proyek ambisius itu ingin menyelesaikan berbagai persoalan dalam sistem pajak internasional, seperti kompetisi pajak, penghindaran pajak, perilaku perusahaan multinasional, dan penerimaan pajak.

Baca Juga:
Lapor SPT Tahunan, Biden Bayar Pajak Rp 2,37 Miliar pada 2023

Bagi pemerintah, kesibukan terkait dengan implementasi serta penerbitan aturan lebih lanjut mengenai ketiga bab tersebut akan mewarnai situasi pada 2023. Terlebih, pembahasan mengenai solusi 2 pilar pemajakan akibat digitalisasi ekonomi masih terus dikebut meskipun diprediksi molor.

Perkembangan ekonomi global pada tahun depan juga perlu diletakkan sebagai konteks yang tidak terpisahkan. Adanya risiko perlambatan ekonomi serta ketegangan geopolitik, belajar dari pengalaman yang ada, akan turut memengaruhi perundingan kesepakatan pajak global.

Tentu saja, pemerintah tetap perlu berhati-hati dalam menyusun berbagai aspek teknis. Kita ambil contoh terkait dengan instrumen anti-penghindaran pajak. Koridor-koridor yang jelas dan ketat perlu diatur, terutama saat menerapkan prinsip substance over form.

Baca Juga:
Kementerian Energi dari Negara Ini Minta Gas Alam Dibebaskan dari PPN

Kita sering mendengar ungkapan the devil is in the details. Oleh karena itu, upaya untuk merumuskan berbagai kebijakan teknis juga perlu melibatkan berbagai pihak. Studi dari negara lain yang pernah menerapkan kebijakan serupa juga perlu dilakukan.

Bagaimana dengan wajib pajak? Tentu saja wajib pajak perlu memahami konstelasi global juga makin memengaruhi pajak domestik, bukan hanya aktivitas bisnis. Dengan demikian, wajib pajak perlu terus memantau perkembangan perubahan regulasi dalam konteks reformasi yang tengah berlangsung.

Upaya-upaya antisipasi juga sudah perlu dilakukan mulai dari sekarang. Bila perlu, wajib pajak juga bisa melakukan studi secara khusus mengenai prospek pengaturan kebijakan pajak internasional pada masa mendatang. Dari situ, wajib pajak juga bisa memberikan masukan kebijakan.

Baca Juga:
Respons Konflik Iran-Israel, Korsel Lanjutkan Diskon Tarif Pajak BBM

Selain regulasi, persiapan implementasi sistem inti (coretax system) yang baru pada 2024 juga perlu dilihat. Dipasangnya compliance risk management (CRM) dan business intelligent (BI) pada akhirnya juga memengaruhi proses bisnis yang berkaitan dengan pajak internasional.

Contoh, pemerintah sudah menggunakan CRM TP. Hadirnya CRM TP digadang-gadang akan memberikan peta risiko wajib pajak yang menggunakan transfer pricing untuk penghindaran pajak. Terlebih, DJP sudah melakukan pertukaran data lewat automatic exchange of information (AEOI).

Harapannya, selain berupaya mendorong keadilan dalam kebijakan, wajib pajak juga bisa mendapatkan kepastian sejak awal. Jangan sampai perubahan yang terjadi tidak diikuti dengan pemahaman yang baik, baik regulasi maupun administrasi, sehingga meningkatkan risiko sengketa. (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN
Kamis, 18 April 2024 | 14:30 WIB PERTUMBUHAN EKONOMI

Susun RKP, Ekonomi Ditarget Tumbuh 5,3 - 5,6 Persen pada Tahun Depan

Kamis, 18 April 2024 | 14:00 WIB KEBIJAKAN PERINDUSTRIAN

Pemerintah Antisipasi Dampak Konflik Timur Tengah Terhadap Industri

Kamis, 18 April 2024 | 13:48 WIB KONSULTASI PAJAK

Bayar Endorse Influencer di Media Sosial, Dipotong PPh Pasal 21?

Kamis, 18 April 2024 | 13:30 WIB AMERIKA SERIKAT

Bentuk UN Tax Convention, G-7 Ungkap Pentingnya Konsensus dalam Pajak

Kamis, 18 April 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Ajukan Penghapusan NPWP, Utang Pajak Harus Lunas? Begini Ketentuannya

Kamis, 18 April 2024 | 11:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Perpanjangan Lapor SPT Tahunan, DJP Minta WP Cek Kelengkapan Lampiran

Kamis, 18 April 2024 | 11:23 WIB PMK 186/2021

Hambat Pemeriksaan, Izin Akuntan Publik atau KAP Bisa Dibekukan

Kamis, 18 April 2024 | 11:07 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Program Presiden Terpilih Bakal Diintegrasikan Lewat RRP 2025

Kamis, 18 April 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Jenis Transaksi yang Dipotong PPh 4 Ayat 2 oleh Instansi Pemerintah