PERSPEKTIF FOUNDER DDTC:

Kompetisi Memperebutkan HNWI Global dan Langkah Indonesia

Redaksi DDTCNews
Kamis, 18 Desember 2025 | 14.00 WIB
Kompetisi Memperebutkan HNWI Global dan Langkah Indonesia
Founder DDTC

FENOMENA perpindahan high net worth individuals (HNWI) antaryurisdiksi kian menarik untuk dicermati. Berdasarkan laporan Henley & Partners (2025), tahun ini diperkirakan sebanyak 142.000 HNWI beremigrasi ke luar yurisdiksi asalnya. Sebagai informasi, HNWI dalam laporan tersebut merupakan individu dengan kekayaan likuid lebih dari US$1 juta atau sekitar Rp16,75 miliar.

Angka tersebut sebenarnya hanya mencakup sekitar 0,2% populasi miliarder dunia. Tax Justice Network (2025) juga turut mengkritisi narasi temuan yang disampaikan secara hiperbolis, metodologi pengukuran, serta dugaan adanya kepentingan terselubung dari laporan tersebut.

Meskipun demikian, fenomena perpindahan HNWI antaryurisdiksi bisa jadi tetap sahih dalam situasi dewasa ini. Apa pasal? Digitalisasi dan hadirnya Covid-19 menegaskan bahwa bekerja dapat dilakukan dari mana saja dan mengikuti pola berpindah-pindah (nomaden). Aktivitas ekonomi seseorang kian sulit dibatasi oleh sekat-sekat garis batas yurisdiksi.

Di saat yang bersamaan, pemerintah di berbagai yurisdiksi berlomba-lomba menawarkan pemanis bagi HNWI untuk datang dan menetap. Program golden visa ataupun citizenship by investment kian sering kita dengar.

Begitu pula dengan iming-iming rezim pajak yang ramah bagi HNWI sebagaimana dijumpai di Uni Emirat Arab, Montenegro, hingga Italia. Keseluruhan strategi di atas bermuara pada satu anggapan, bahwa kehadiran HNWI berpotensi memberikan dampak positif bagi ekonomi lokal. Dari sekadar mendorong permintaan dan konsumsi atas produk hingga investasi di sektor padat karya atau berupa kegiatan filantropi.

Singkatnya, kita tengah menyaksikan permulaan dari era baru kompetisi pajak yang berorientasi terhadap sumber daya manusia. Pertanyaannya, bagaimanakah posisi Indonesia? Mengapa rezim pajak yang selaras dengan upaya menarik HNWI perlu untuk dipertimbangkan secara sungguh-sungguh?

Pajak dan Mobilitas Individu

Selama bertahun-tahun, berbagai yurisdiksi berusaha menciptakan sistem pajak penghasilan (PPh) yang berdaya saing di tingkat internasional. Karpet merah digelar untuk mengundang modal (kapital) global, baik dalam bentuk foreign direct investment (FDI), portfolio investment, maupun paper profit (Kristiaji, 2019).

Hal tersebut berkaitan erat dengan origin principle yang menjadi landasan pengenaan PPh. Pajak dikenakan di tempat pembentukan nilai dari aktivitas ekonomi dan kegiatan produksi dilakukan.

Namun demikian, kompetisi pajak kerap mengesampingkan faktor sumber daya manusia (labour). Kecondongan terhadap kapital sebetulnya tidaklah salah, karena individu dipercaya relatif less mobile dibandingkan kapital.

Faktanya, penghematan pajak juga tetap dapat dioptimalkan pada setting pajak internasional yang kurang berpihak bagi individu pemilik modal atau HNWI. Umumnya, model perencanaan pajak HNWI selama 5 dasawarsa terakhir merujuk pada flag theory yang dikembangkan oleh Schultz (1975) dan disempurnakan oleh Hill (1993).

Dalam flag theory, terdapat 5 prinsip yang dijadikan pegangan investor, yaitu: (i) kewarganegaraan ganda untuk menjamin kebebasan berpindah, (ii) yurisdiksi offshore dengan pajak rendah untuk memulai bisnis, (iii) yurisdiksi sebagai tempat leisure dan spending, (iv) status residen di yurisdiksi pajak rendah, dan (v) akses terhadap suaka pajak (tax haven) untuk menaruh kekayaan dan akun perbankan.

Adanya kerahasiaan perbankan, kemudahan pendirian perusahaan cangkang, kehadiran tax haven, serta prinsip penentuan status subjek pajak dalam negeri (SPDN) yang berpedoman pada threshold kehadiran fisik selama 183 hari, memudahkan HNWI untuk menghemat pajak penghasilannya secara global. Mohon dicatat, semuanya dapat diraih tanpa kehadiran rezim yang secara khusus berpihak bagi relokasi HNWI.

Meskipun demikian, kini terdapat beberapa perubahan mendasar.

Pertama, sulit dipungkiri adanya pertalian erat antara flag theory dengan skandal keuangan seperti Panama Papers, Offshore Leaks, Paradise Paper, dan sebagainya. Berbagai skandal tersebut kemudian mengilhami proyek pertukaran informasi antarotoritas pajak, akses informasi keuangan, konsepsi beneficial ownership, hingga ketentuan anti-treaty shopping.

Singkatnya, era kerahasiaan perbankan telah usai. Dunia kian transparan. Flag theory dirasa tidak lagi kompatibel dengan situasi terkini (Beretta, 2024).

Kedua, dari perencanaan pajak yang agresif menjadi defensif? Yurisdiksi lokasi asal terkonsentrasinya HNWI -seperti halnya Amerika Serikat, UK, Prancis, China, dan India- tetap mengenakan pajak atas penghasilan HNWI yang diperoleh dari luar negeri. Termasuk adanya pajak kekayaan, pajak warisan, atau pajak atas capital gain.

Di tengah lanskap pajak yang kian transparan, perencanaan pajak agresif yang ‘menghamba’ pada flag theory makin sulit dilakukan. Dana tetap terendus dan distribusi penghasilan ke yurisdiksi tempat HNWI tersebut berdomisili akan tetap dikenakan pajak.

Oleh Avi-Yonah (2015), fenomena tersebut menjurus pada suatu kesimpulan bahwa dewasa ini perencanaan pajak hanya akan memberikan hasil optimal jika dibarengi dengan perpindahan individunya (HNWI) ke yurisdiksi lain. Kata kuncinya, memerlukan perpindahan individunya secara substantif.

Dengan logika yang sama, tiap negara akan relatif sulit memperebutkan modal tanpa memperebutkan faktor manusianya.

Ketiga, tren menunjukkan adanya migrasi internasional yang kian meningkat. Sebagai ilustrasi, berdasarkan UNDESA (2025), pada 1990 tercatat ada sebanyak 154 juta migran. Lalu pada 2024, jumlah meningkat tajam menjadi 304 juta migran secara global.

Salah satu penyebabnya ialah penerapan kebijakan migrasi yang kian lentur dan terbuka (Mau et al, 2015). Kebijakan tersebut merupakan jawaban atas persoalan demografi, sosial, dan ekonomi yang kini dihadapi berbagai negara. Persoalan tersebut mencakup isu geopolitik, kesempatan kerja, upah minimum yang bervariasi, fenomena brain drain, hingga struktur populasi yang menua.

Oleh karena itu, dikotomi antara capital dengan labor dalam rezim pemajakan harusnya tidak lagi eksis. Keduanya harus mendapatkan perhatian yang sama.

Keempat, kompetisi perebutan modal dan praktik pengalihan laba pascaberlakunya pajak minimum global. Harus diakui bahwa pajak minimum global tidak serta mengeliminasi kompetisi pajak sepenuhnya (Agrawal, 2025). Akan tetapi, skenario tarif minimum tersebut diprediksi mendorong paradigma real economic activity dalam keputusan investasi.

Pajak minimum global berpotensi mengubah global supply chain. Sedangkan, rantai pengendalian HNWI -selaku ultimate beneficial owner- terhadap perusahaan multinasional bisa jadi berubah karena transaction cost atas pengendalian yang berlapis kian meningkat.

Bagi HNWI, kesamaan status residen mereka dengan yurisdiksi lokasi bisnisnya berada akan lebih menguntungkan. Dengan catatan, selama yurisdiksi tersebut menawarkan rezim pajak yang berpihak bagi mereka.

Babak Baru

Sampai sini seharusnya kita bisa sama-sama menyepakati satu hal. Fenomena kompetisi pajak memperebutkan sumber daya manusia memasuki babak baru.

Babak baru tersebut tidak lagi ditopang oleh kerahasiaan, tax haven, dan segala aspek yang tidak selaras dengan prinsip tata kelola pajak yang baik. Ia lebih menitikberatkan pada kompetisi pajak yang sehat (tidak harmful). Seyogianya ini hampir sama dengan agenda memberikan menu insentif pajak yang berorientasi untuk mengundang real economic activity, seperti halnya tax holiday, tax allowance, dan sebagainya.

Babak baru kompetisi pajak tersebut dapat saja berorientasi bagi berbagai kriteria sumber daya manusia yang tiap yurisdiksi butuhkan. Namun demikian, kehadiran HNWI — sebagai pemilik modal— di suatu yurisdiksi perlu mendapat perhatian khusus.

Pasalnya, mereka dapat menciptakan stimulus penting bagi savings, investment, dan penciptaan lapangan kerja. Tidak hanya itu, perilaku pembelian aset dan akumulasi harta, kegiatan filantropi, hingga konsumsi atas produk bernilai tinggi juga berpotensi turut meningkat.

Lagi-lagi, gagasan mengikutsertakan faktor manusia dan hubungannya dengan modal dalam setting pajak internasional sesungguhnya tidaklah baru. Hanya jarang mendapat perhatian.

Prof. Eric Kemmeren adalah salah satu pengecualian. Dia kerap mengemukakan pentingnya reformulasi konsep capital import (export) neutrality atau CIN-CEN menjadi capital and labour import (export) neutrality atau CLIN-CLEN (2006; 2017).

Sadar atau tidak, kita menyaksikan bertambahnya rezim pemajakan yang berorientasi bagi sumber daya manusia. Sebagai ilustrasi, selama periode 1995-2020, terdapat peningkatan instrumen dan rezim pemajakan yang berorientasi bagi warga negara asing di kawasan Uni Eropa. Dari 5 instrumen menjadi 28 instrumen, dari Yunani hingga Siprus (EU Tax Observatory, 2021).

Lantas, apa yang biasanya menjadi instrumen untuk mengambil hati para HNWI?

Secara tradisional, yurisdiksi yang tidak mengenakan PPh orang pribadi dan menganut sistem teritorial dipertimbangkan sebagai tempat yang paling nyaman bagi penghematan pajak HNWI.

Akan tetapi, dewasa ini kita mencermati yurisdiksi yang notabene memajaki PPh orang pribadi dan menganut worldwide tax system juga turut memodifikasi regulasi khusus untuk ekspatriat atau warga negara asing. Kuncinya adalah menerapkan territorial tax system bagi HNWI tersebut (Tenore, 2024).

Prinsip teritorial sejatinya bermaksud mewujudkan capital import neutrality (Darussalam, Kristiaji, dan Dhora, 2018). Bagi HNWI, sistem teritorial memastikan tidak adanya pajak berganda sekaligus menjamin penghasilan-penghasilan mereka yang diperoleh selain dari negara sumber untuk ‘terlindungi dari sentuhan’ otoritas pajak.

Perspektif Indonesia

Bagaimana Indonesia perlu bersikap?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu belajar dari negara yang berhasil memenangkan kompetisi perebutan modal melalui sistem pajak yang atraktif. Jangan sampai kita hanya menjadi negara dengan status periphery.

Pertama, kompetisi pajak umumnya berpihak kepada first-mover advantage. Indonesia perlu menjadi negara yang progresif dan sigap dalam menawarkan paket menarik di tengah tax law market. Tujuannya, sedari awal menarik HNWI global datang, menetap, dan menggerakkan perekonomian Indonesia.

Keberhasilan Swiss dan Irlandia dalam kompetisi modal dipengaruhi oleh gerak cepat mereka di kawasan masing-masing. Yurisdiksi pengikut umumnya hanya mendapat sedikit limpahan (Dietsch, 2015).

Kedua, pilihan menciptakan ekosistem pajak yang pro bagi HNWI bukan berarti kita mengingkari upaya mencapai sistem pajak internasional yang adil. Keduanya tidak saling menegasikan.

Sistem pajak yang atraktif tetap dapat diiringi dengan keberpihakan dan ketaatan dengan kerjasama bilateral, regional, maupun multilateral di bidang pajak. Ambil contoh, Singapura dengan sistem pajaknya yang sangat pro investasi. Di saat yang bersamaan, negara tersebut tetap selaras dengan standar global di bidang pertukaran informasi untuk kepentingan pajak.

Ketiga, pajak bukanlah determinan tunggal dalam kompetisi memperebutkan HNWI. Kebijakan di bidang keimigrasian, kemudahan berusaha, good governance, hingga perlindungan hak privat harus masuk dalam daftar pendek (shortlist) prioritas pembenahan.

Untuk aspek-aspek tersebut, kita perlu belajar dari Mauritius. Sebagai negara pulau terpencil yang terletak di Afrika Timur, Mauritius berhasil meraih peringkat ke-13 dalam Doing Business 2020. Ranking tersebut bahkan lebih baik dari Australia atau Uni Emirat Arab.

Jika kita sudah sepakat, selanjutnya rezim pajak seperti apakah yang perlu kita bangun?

Berkaca dari tren global, prinsip teritorial adalah kunci. Melalui prinsip teritorial, pengenaan pajak hanya dikenakan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia. Penghasilan dari luar negeri dikecualikan dari objek pajak penghasilan (PPh).

Pertanyaan berikutnya ialah penerapan prinsip teritorial ini apakah hanya untuk penghasilan dan/atau wajib pajak tertentu? Pilihannya pun dapat beragam. Misalkan, hanya mengecualikan dividen, bunga, atau justru seluruh penghasilan pasif. Ini tentu perlu disesuaikan dengan karakteristik penghasilan HNWI yang hendak disasar. Semakin luas jenis penghasilan yang dikecualikan, tentu akan kian menarik.

Kriteria wajib pajak yang tercakup dapat saja tidak hanya bagi warga negara asing (WNA), tetapi juga dapat dinikmati warga negara Indonesia (WNI). Hal tersebut bertujuan untuk menjamin kesetaraan dan daya dorong WNI untuk melakukan outbound investment. Kesetaraan perlakuan tersebut juga dimaksudkan sebagai instrumen agar HNWI Indonesia mempertahankan status subjek pajaknya, khususnya yang secara nyata-nyata merupakan ultimate beneficial owner dari bisnis di Indonesia.

Sebagai informasi, filosofi sistem pajak teritorial sesungguhnya bukan hal baru. Pasal 4 ayat (1a) UU PPh st.d.t.d.t.d. UU HPP telah mengatur adanya pengecualian objek PPh atas penghasilan luar negeri yang diterima WNA yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri Indonesia. Sayangnya, pengecualian sebagaimana diatur dalam pasal tersebut hanya berlaku bagi WNA yang memiliki keahlian tertentu.

Walaupun frasa ‘memiliki keahlian tertentu’ dapat diinterpretasikan secara luas dan didelegasikan dalam produk hukum yang lebih rendah, opsi merevisi UU PPh sepertinya tetap perlu dipertimbangkan.

Skenario lain juga masih terbuka lebar. Sebagai contoh, relaksasi ketentuan controlled foreign company (CFC) bagi individu pengendali dengan kriteria HNWI tertentu.

Atas penghasilan HNWI global yang bersumber dari Indonesia juga dapat dikenakan pajak yang bersifat pilihan. Baik mengikuti rezim normal dengan tarif progresif berdasarkan Pasal 17 UU PPh s.t.d.t.d. UU HPP, skema lump sum tax (beban pajak dengan nilai flat), alternatif personal allowance, ataupun mengikuti beban tarif sesuai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang relevan.

Pada saat yang bersamaan, pemerintah tetap perlu membentuk program khusus kepatuhan pajak bagi HNWI. Berdasarkan Offermanns dan Moniz (2020), saat ini 70 dari 135 negara di dunia telah memperkenalkan strategi tersebut.

Program tersebut seyogianya mencakup pemetaan atas jaringan pengendalian, kepemilikan aset, hingga aliran penghasilan yang dimiliki tiap HNWI. Dengan demikian, ada keseimbangan antara insentif, transparansi, dan pemetaan risiko kepatuhan pajak bagi HNWI yang diundang ke Indonesia.

Ide-ide tersebut mungkin terasa ‘bukan Indonesia banget’. Namun demikian, kita perlu mengingat bagaimana rasanya sekadar menjadi pengekor dalam kompetisi memperebutkan modal.

Salah satunya diakibatkan oleh slow response dalam menciptakan rezim pajak yang ‘ramah’. Kita juga telah menjadi ‘anak penurut’ dan proaktif dalam mengikuti berbagai konsensus pajak internasional.

Pada akhirnya, pembangunan ekonomi di suatu yurisdiksi akan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kapasitas sumber daya manusianya. Karenanya, ketersediaan HWNI memberikan peluang terciptanya multiplier effect yang menguntungkan bagi negara. Rezim pajak yang berorientasi bagi HNWI jelas patut kita pertimbangkan.

Desain rezim tersebut diharapkan mampu mengundang lebih banyak HNWI global untuk menetap dan melakukan aktivitas ekonomi di Indonesia. Di sisi lain, ia juga diharapkan mampu mempertahankan dan memelihara HNWI warga negara Indonesia agar tidak tergoda dan pindah ke yurisdiksi lain.

Mungkin ini saatnya berpikir kreatif dan bertindak berbeda. Perebutan sumber daya manusia global khususnya HNWI agaknya akan kian tajam di masa mendatang. Tren penerapan prinsip teritorial dalam pemajakan para HNWI global di beberapa yurisdiksi sepertinya baru awalan dan mungkin akan menjadi kenormalan baru di era berikutnya.

Pada titik ini kembali saya teringat tentang hipotesis Tiebout (1956) bahwa kompetisi antaryurisdiksi justru akan menciptakan hasil yang efisien secara ekonomi. Semoga!*

*Artikel ini juga termuat dalam buku ke-40 DDTC berjudul Gagasan Reformasi Perpajakan: Jaga Ekonomi, Jamin Penerimaan yang terbit pada Desember 2025. Untuk mengakses versi PDF dari buku tersebut, klik di sini. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.