
TIDAK terasa dalam hitungan hari, lembaran kalender akan masuk ke angka 2026. Artinya, penerapan coretax administration system segera genap 1 tahun. Selayaknya ulang tahun, tentu momen ini patut kita rayakan dengan penuh ucap syukur. Namun, ada sisi lain yang perlu direnungkan.
Sayangnya, coretax telanjur tidak sesuai dengan yang dibayangkan. Setahun berjalan, berbagai keluhan dan luapan kekecewaan banyak terucap oleh wajib pajak. Ditjen Pajak (DJP), yang semestinya bisa meredam kegelisahan publik atas hambatan teknis penggunaan coretax system, justru ikut kelabakan.
Realitas yang paling dekat saat ini adalah 'tutup buku' tahun 2025, yang menandai dimulainya rangkaian pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Kendati coretax system perlahan menunjukkan perbaikan, kekhawatiran dari wajib pajak belum sepenuhnya hilang. Coretax DJP seolah menjadi penguji kepercayaan publik, terutama menjelang deadline pelaporan SPT Tahunan, yakni pada Maret dan April tahun depan.
Terlepas dari perdebatan 'ini salah siapa?', sistem digital yang baru berusia 1 tahun wajar terasa trial and error. Namun, pajak adalah denyut hampir setiap aktivitas ekonomi, dari skala rumahan hingga korporasi. Karenanya, kehadiran coretax system sebagai medium administrasi pajak menjadi vital.
Ketika coretax system bermasalah, yang terganggu bukan hanya kas negara dan alur administrasi pajak, tetapi denyut bisnis juga menjadi terhambat.
Gangguan pada layanan pajak mulai dari gagal unggah hingga terhambatnya proses bisnis perusahaan berimplikasi langsung pada kelangsungan usaha dan kerja para pegawai di dalamnya. Dengan kata lain, ketika layanan publik digital tidak berjalan sebagaimana mestinya, negara secara tidak langsung belum memenuhi ekspektasi wajib pajak.
Transformasi digital semestinya menjadi pereda beban administrasi, bukan justru menjadi tembok baru yang memperlambat kegiatan bisnis.
Peter F. Drucker dalam jurnalnya, The Deadly Sins in Public Administration, menjelaskan salah satu dosa mematikan yang kerap membuat program layanan publik gagal total yaitu slogan fat is beautiful. Istilah ini merujuk pada kecenderungan birokrasi untuk merasa nyaman dengan struktur yang gemuk, penuh lapisan, kaya prosedur, tetapi miskin efektivitas. Ketika proyek digital negara seperti coretax system dijalankan dalam kultur serupa, kegagalan bukanlah kejutan, ia justru menjadi keniscayaan yang tertunda.
Coretax DJP yang semestinya menjadi instrumen modernisasi pajak malah terseret dalam jebakan klasik administrasi publik, sistem yang kompleks tetapi tidak lincah, anggaran yang besar tetapi tidak terarah, dan koordinasi yang luas tetapi tanpa kontrol mutu yang memadai.
Pada titik inilah kritik Drucker menemukan relevansinya. Sistem gemuk tidak selalu berarti kuat, sering kali ia hanya menumpuk beban tanpa menggerakkan perubahan. Jika budaya birokrasi 'gemuk' tidak dibongkar melalui perbaikan tata kelola maka gangguan demi gangguan pada Coretax DJP bukanlah anomali, melainkan gejala permanen dari birokrasi yang kehilangan disiplin operasional.
Artinya, sebagaimana Drucker peringatkan, dosa ini dapat mematikan bukan hanya bagi programnya, tetapi bagi kepercayaan publik yang menopang eksistensi lembaga itu sendiri.
Dalam konteks pelayanan publik, berbagai literatur administrasi negara menekankan bahwa kualitas layanan tidak hanya ditentukan oleh teknologi, tetapi oleh tata kelola (governance). Osborne & Gaebler (1992) dalam Reinventing Government menegaskan bahwa birokrasi modern harus 'lebih lincah, lebih adaptif, dan berorientasi pada hasil', bukan sekadar memperbesar struktur dan menumpuk aturan. Prinsip ini mengingatkan kita bahwa modernisasi tanpa disiplin tata kelola hanya menghasilkan kemewahan semu.
Tanggung jawab untuk berubah tidak hanya berada di pundak DJP. Ekosistem perpajakan adalah jejaring yang melibatkan pemerintah, pelaku usaha, konsultan, akademisi, hingga masyarakat. Teori collaborative governance (Ansell & Gash, 2008) menjelaskan bahwa perbaikan layanan publik yang kompleks hanya dapat dicapai melalui kemauan berbagai aktor untuk membangun kepercayaan, berbagi informasi, dan berkomitmen pada tujuan yang sama.
Dalam konteks coretax system, kolaborasi ini berarti membuka ruang dialog, mendengar pengalaman pengguna, serta mengedepankan transparansi dalam setiap langkah perbaikan.
Coretax system seharusnya menjadi penanda era baru, era ketika administrasi pajak lebih efisien. Namun, tujuan itu hanya dapat dicapai jika kita, sebagai bangsa, menyadari bahwa reformasi birokrasi adalah perjalanan bersama. Transformasi digital bukan sekadar mengganti sistem lama dengan yang baru, tetapi membangun budaya good governance. Ini yang kerap kita semua abaikan.
Jika seluruh pihak utamanya pemerintah mampu menata langkah dengan semangat yang sama, maka satu tahun coretax system bukanlah sekadar catatan masalah, tetapi batu pijakan menuju layanan publik yang lebih baik. Semoga.
