THE Law Review kembali menerbitkan edisi kelima dari buku Transfer Pricing Law Review pada Agustus 2021. Dalam edisi kali ini, ada pembahasan rezim transfer pricing dari 18 negara.
Rezim transfer pricing di Indonesia masih menjadi salah satu bahasan dalam buku tersebut. Dalam edisi kali ini, pembahasan mengenai Indonesia masih kembali dipercayakan kepada dua pakar transfer pricing dari DDTC.
Mereka adalah Partner of Transfer Pricing Services Romi Irawan dan Associate Partner of International Tax Practice/Transfer Pricing Services Yusuf Wangko Ngantung. Kesempatan tahun ini merupakan kali keempat DDTC dipercaya sebagai kontributor pada buku tersebut.
Dalam edisi kali ini, Romi Irawan dan Yusuf Wangko Ngantung bergabung dengan kontributor yang berasal dari 17 negara lainya seperti Brazil, Canada, Cyprus, Denmark, Jerman, India, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Luksemburg, Belanda, Nigeria, Portugal, Spanyol, Swiss, dan Britania Raya.
Dalam Chapter 7, Romi dan Yusuf mengawali pembahasan rezim transfer pricing di Indonesia dengan perkembangan dasar hukum yang sudah dirilis oleh pemerintah. Mereka menyebut Indonesia telah secara aktif mengubah regulasi mengenai transfer pricing agar sejalan dengan Rencana Aksi BEPS OECD.
Langkah tersebut pada gilirannya membuat persyaratan transfer pricing documentation (TP Doc) lebih komprehensif dan berlaku bagi hampir setiap wajib pajak yang merupakan bagian dari grup perusahaan multinasional.
Romi dan Yusuf menekankan pentingnya wajib pajak untuk mempertimbangkan TP Doc sebagai garis pertahanan pertama dalam pemeriksaan. TP Doc yang kuat dapat membantu mengurangi sengketa dengan otoritas pajak.
Meskipun jumlah pemeriksaan pajak tetap tinggi selama 3-4 Â tahun terakhir, ada juga tren yang berkembang untuk pemanfaatan Advance Pricing Agreement (APA) di Indonesia sebagai sarana untuk menghindari sengketa atau mencapai penyelesaian.
Romi dan Yusuf juga membahas percepatan pembuatan kebijakan pajak menyangkut digitalisasi ekonomi setelah adanya pandemi Covid-19. Indonesia juga telah memperkenalkan pajak transaksi elektronik (PTE) meskipun belum diimplementasikan.
Steve Edge dan Dominic Robertson, editor buku ini, mengatakan Transfer Pricing Law Review dimaksudkan untuk memberi pembaca sebuah ikhtisar tingkat tinggi mengenai aturan transfer pricing. Setiap bab dalam buku ini merangkum regulasi transfer pricing yang substansif di tiap negara.
Setiap bab dalam buku ini merangkum aturan transfer pricing negara, menjelaskan penanganan sengketa transfer pricing mulai dari pemeriksaan awal hingga penyelesaian, serta membahas interaksi antara transfer pricing dan bagian lain dalam aturan pajak (seperti upaya pencegahan pajak berganda).
Steve dan Dominic mengatakan adanya kepentingan ekonomi membuat aturan transfer pricing sebagai prioritas utama dalam agenda pajak perusahaan (lebih luas lagi menyangkut agenda politik) selama bertahun-tahun ke depan. Aturan akan terus berkembang pesat.
Mereka mengharapkan ada beberapa aspek yang akan menjadi salah satu fokus utama. Pertama, dampak pandemi covid-19 terhadap transfer pricing. Pengalaman dari krisis keuangan 2008 menunjukkan dalam jangka menengah, kebutuhan penerimaan pajak kemungkinan akan mendorong otoritas pajak ke arah pendekatan yang lebih tegas dalam kasus-kasus transfer pricing.
Kedua, sejumlah negara kemungkinan akan melihat sengketa terkait dengan transfer pricing dapat digunakan untuk mendefinisikan ulang jenis sebuah transaksi, bukan hanya untuk menyesuaikan harga transaksi. Ketiga, banyak negara memperkuat persyaratan untuk TP Doc kontemporer, baik menyelaraskan dengan master file atau local file.
Steve dan Dominic mengatakan upaya untuk mencapai konsensus pemajakan atas digitalisasi ekonomi akan makin mungkin terjadi setelah Joe Biden terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Negara-negara G-7, bahkan yang terbaru hingga G-20, sudah menyepakati pula tarif pajak minimum global.
Salah satu aspek penting terkait dengan transfer pricing adalah disepekatinya sebagian dari keuntungan perusahaan multinasional (seluruh laba di atas 10% dari penghasilan) akan secara otomatis diberikan (realokasi) kepada yurisdiksi pasar.
Kesepakatan itu tentunya merupakan perubahan radikal dari standar kewajaran (arm’s-length) tradisional. Namun, perlu ditekankan, prinsip kewajaran akan terus memainkan peran penting bagi bisnis besar dan otoritas pajak.
Hal tersebut dikarenakan akan memakan waktu beberapa tahun agar aturan realokasi menjadi tertanam dalam undang-undang nasional dan perjanjian pajak berganda. Selain itu, standar kewajaran akan terus berlaku untuk sebagian besar bisnis yang berada di luar aturan realokasi, baik karena ukuran atau margin keuntungan.
The Law Reviews merupakan penerbit dari Inggris yang berkomitmen dalam memberikan tinjauan hukum bisnis di berbagai negara. Berbagai isu mulai dari hukum investasi, restrukturisasi usaha, hingga kompetisi usaha sudah dituangkan dalam buku.
Buku ini juga memberikan potret baik di negara maju dan berkembang yang akhirnya memberikan paduan yang menarik tentang konsistensi penerapan arm’s length principle. Perkembangan pengaturan di berbagai negara juga sejalan dengan dinamika terbaru perpajakan internasional.
Buku ini sangat berguna tidak hanya bagi praktisi, dunia usaha dan akademisi, tapi juga bagi pembuat kebijakan di Indonesia. Informasi mengenai perbandingan ketentuan transfer pricing di berbagai negara bisa dijadikan suatu benchmark bagi desain ketentuan di Indonesia.
Bagaimana, tertarik membaca buku ini? Anda bisa berkunjung ke DDTC Library. (kaw)