Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama dalam webinar bertajuk Kebijakan Perpajakan Perguruan Tinggi: Arah Optimalisasi Ketentuan Endowment Fund Perguruan Tinggi Swasta, Selasa (8/12/2020).
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) memastikan adanya pengecualian dari objek pajak penghasilan (PPh) atas sisa lebih yang diterima oleh badan atau lembaga nirlaba bidang pendidikan dan/atau litbang.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan PMK 68/2020 yang dirilis pada pertengahan tahun ini untuk menyelaraskan ketentuan perpajakan bagi perguruan tinggi atau lembaga pendidikan dengan UU 12/2012 tentang pendidikan tinggi.
Menurutnya, otoritas tidak akan mengenakan pajak jika dana yang diperoleh dari lembaga pendidikan berupa sisa lebih hasil operasional digunakan untuk kepentingan nirlaba dan untuk pengembangan kualitas pendidikan.
“Sisa lebih dikecualikan dari objek PPh selama digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan,” katanya dalam webinar yang digelar Universitas Kristen Petra bertajuk Kebijakan Perpajakan Perguruan Tinggi: Arah Optimalisasi Ketentuan Endowment Fund Perguruan Tinggi Swasta, Selasa (8/12/2020).
Sisa lebih, sambungnya, dikecualikan sebagai objek pajak bila ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana pendidikan dan/atau litbang dalam jangka waktu 4 tahun sejak sisa lebih diperoleh.
Sisa lebih yang dimaksud adalah selisih lebih dari penghitungan seluruh penghasilan yang diterima selain penghasilan yang dikenai PPh yang bersifat final dan/atau yang bukan objek PPh dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut.
Hestu menyebutkan komitmen DJP untuk mendukung pengembangan kegiatan pendidikan berlanjut dengan memperkenalkan skema dana abadi. Sisa lebih yang dialokasikan untuk dana abadi juga ikut dikecualikan dari pungutan pajak sepanjang berada koridor pengembangan pendidikan.
Dalam PMK 68/2020, ada 4 syarat penggunaan sisa lebih dapat dialokasikan dalam bentuk dana abadi. Pertama, badan atau lembaga telah ditetapkan dengan peringkat akreditasi tertinggi oleh instansi yang berwenang menetapkan akreditasi.
Kedua, disetujui oleh pimpinan perguruan tinggi atau badan/lembaga pendidikan. Ketiga, untuk badan atau lembaga penelitian dan pengembangan, harus ada persetujuan dari pimpinan badan atau lembaga penelitian dan pengembangan, dan pejabat instansi pemerintah terkait di tingkat pusat.
Keempat, telah terdapat pengaturan terkait dana abadi di badan atau lembaga dalam bentuk peraturan presiden dan/atau peraturan menteri yang membidangi pendidikan dan/atau litbang.
Hestu menyebutkan syarat keempat ini belum dibuat oleh kementerian/lembaga terkait. Oleh karena itu, DJP mendorong seluruh pemangku kepentingan di dunia pendidikan tinggi dan lembaga penelitian untuk merampungkan regulasi teknis tersebut. Otoritas pajak, lanjutnya, akan menggunakan regulasi teknis tersebut sebagai basis perlakukan perpajakan atas penggunaan dana abadi.
"Kami di Kemenkeu dan DJP mendorong pengaturan dana abadi yang belum ada. Jadi, sepanjang berjalan dalam koridor UU 12/2012 tidak menjadi objek PPh," terangnya.
Dalam acara ini, Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji memaparkan komparasi kebijakan dana abadi dengan negara lain. Menurutnya, PMK 68/2020 sejalan dengan penerapan dana abadi perguruan tinggi di sebagian besar negara. Dia menyebutkan basis regulasi perpajakan dana abadi dilakukan dengan pemberian fasilitas secara parsial.
Salah satu contohnya adalah ketentuan dalam PMK 68/2020 yang mengecualikan sisa lebih hasil operasional perguruan tinggi dari pungutan pajak jika dibelanjakan untuk pengembangan pendidikan seperti pembangunan sarana dan prasarana. Fasilitas tersebut juga berlaku untuk periode waktu tertentu.
"Jadi ada tiga bagian sistem pemajakan PPh organisasi nirlaba seperti perguruan tinggi, yakni kebijakan sepenuhnya berdasarkan rezim normal PPh, memberikan pengecualian secara parsial, dan memberlakukan pengecualian pajak secara penuh. Sebagian besar dari data 90 negara, sebanyak 70 menganut partial taxation, termasuk Indonesia lewat PMK 68/2020,” katanya.
Kemudian diperkenalkannya dana abadi juga turut merefleksikan adanya dorongan dari pemerintah untuk mendukung pengembangan aktivitas perguruan tinggi yang berorientasi jangka panjang dan stabil. Hal tersebut merupakan salah satu aspek positif dari PMK 68/2020, jika dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya.
Dosen Universitas Kristen Petra Agus Arianto Toly mengatakan dengan diperkenalkannya dana abadi perguruan tinggi dalam PMK 68/2020 membuka kesempatan untuk peningkatan kualitas lembaga pendidikan swasta. Dia mengusulkan regulasi terkait dana abadi dapat dilakukan secara fleksibel dengan tetap memperhatikan peningkatan kualitas pendidikan.
"Untuk pengelolaan dana abadi perguruan tinggi ini, yang saya harapkan juga bisa ikut mengakomodasi beberapa pengaturan, salah satunya dengan mengakomodasi penggunaan dana abadi seperti pengelolaan dana pensiun," imbuhnya.
Dekan FEB Universitas Kristen Petra Ricky Wang menuturkan mulai diperkenalkannya skema dana abadi bagi perguruan tinggi lewat PMK 68/2020 merupakan momentum meningkatkan kualitas pengelolaan pendidikan tinggi swasta agar mampu bersaing secara internasional. Menurutnya, perguruan tinggi menjadi lebih responsif terhadap perubahan.
"Dana abadi merupakan aspek penting dari pengembangan perguruan tinggi swasta agar bisa cepat bergerak dan responsif terhadap berbagai macam perubahan yang ada di sekitar," katanya. (kaw)