KEBIJAKAN FISKAL

Ini Tinjauan IMF Soal Kebijakan Fiskal Saat Pandemi Covid-19

Redaksi DDTCNews | Kamis, 15 Oktober 2020 | 12:04 WIB
Ini Tinjauan IMF Soal Kebijakan Fiskal Saat Pandemi Covid-19

Ilustrasi. (IMF)

JAKARTA, DDTCNews – International Monetary Fund (IMF) kembali merilis Fiscal Monitor edisi Oktober 2020. Dalam laporan tersebut, IMF menyebut kebijakan fiskal menjadi instrumen yang digunakan negara-negara dalam menghadapi dampak dari pandemi Covid-19.

Krisis kesehatan dan pembatasan sosial telah mendorong lonjakan luar biasa dari sisi fiskal pemerintah. Nilainya mencapai US$11,7 triliun atau hampir 12% dari produk domestik bruto (PDB) global per 11 September 2020. Separuh kebijakan fiskal berupa tambahan belanja dan relaksasi yang berdampak pada hilangnya penerimaan negara.

“Tindakan fiskal tersebut termasuk dalam bentuk pemotongan pajak sementara dan memberikan dukungan likuiditas dengan memberikan jaminan atas pinjaman atau memberikan suntikan modal," tulis IMF dalam laporan tersebut, dikutip pada Kamis (15/10/2020).

Baca Juga:
Pemerintah Siapkan Tarif Royalti 0% untuk Proyek Hilirisasi Batu Bara

Serangkaian kebijakan fiskal tersebut menjadi respons banyak pemerintah untuk mendukung sektor kesehatan, memberikan dukungan bagi individu dan perusahaan yang terdampak pandemi, serta mengurangi dampak buruk Covid-19 pada perekonomian.

Konsekuensi dari berbagai kebijakan tersebut adalah adanya lonjakan defisit anggaran dengan rata-rata 9% dari PDB. Utang pemerintah secara global, sambung IMF, diproyeksikan mencapai rekor tertinggi 100% dari PDB.

Proses pemulihan ekonomi dari Covid-19, lanjut IMF, akan penuh tantangan karena adanya peningkatan tingkat kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi. Oleh karena itu, strategi fiskal harus dilakukan dengan cermat.

Baca Juga:
RI Pasang Target Lebih Ambisius dalam Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca

Kecermatan dalam penyusunan strategi kebijakan fiskal selama pemulihan ekonomi menjadi aspek penting karena bervariasinya respons fiskal global dalam menanggulangi dampak pandemi, baik dari sisi jenis kebijakan yang ditempuh maupun besaran biaya yang dikeluarkan pemerintah.

Kemampuan negara dalam menanggulangi dampak pandemi ditentukan seberapa besar ruang fiskal yang bisa dimanfaatkan dengan melihat tingkat utang pemerintah dan swasta. Pada negara maju dan negara emerging market, belanja pemerintah memberikan likuiditas secara besar-besaran. Selain itu, pembelian aset oleh bank sentral juga menjadi alat ekspansi fiskal.

Situasi berbeda di negara berkembang yang berpenghasilan rendah. Pandemi justru meningkatkan risiko utang berupa berkurangnya kemampuan negara membayar kewajiban. Melihat situasi tersebut, IMF memproyeksi akan terjadi penurunan pendapatan per kapita di banyak negara.

Baca Juga:
Politisasi Bansos saat Pemilu Tak Terbukti, Jokowi Ingatkan Persatuan

"Sekitar 100 juta -150 juta orang di seluruh dunia diperkirakan akan memasuki kemiskinan ekstrem dan memutar balik tren penurunan angka kemiskinan ekstrem selama beberapa dekade terakhir,” imbuh IMF dalam laporan tersebut.

IMF menegaskan perluasan bantuan sosial pemerintah memainkan peran krusial untuk mengerem lebih banyak masyarakat masuk kategori miskin akibat pandemi. Belanja sosial tidak hanya ditargetkan kepada kelompok miskin, tapi juga untuk kelompok pengangguran dan orang yang kehilangan pekerjaan akibat penurunan kegiatan ekonomi.

Selain itu, IMF menilai pemerintah perlu mengantisipasi dampak negatif dari besarnya belanja dan insentif fiskal untuk menanggulangi pandemi. Bantuan sosial dengan subsidi upah misalnya, hanya berlaku untuk jangka pendek. Jika dipertahankan dalam jangka panjang akan menghambat relokasi pasar tenaga kerja saat ekonomi mulai pulih dan lowongan pekerjaan mulai muncul.

Baca Juga:
World Book Day, Ini 3 Ketentuan Fasilitas Perpajakan untuk Buku

Begitu juga dengan bantuan likuiditas kepada pelaku usaha dalam bentuk relaksasi pajak dan jaminan atas pinjaman swasta. Relaksasi tersebut menjadi instrumen strategis dalam jangka pendek untuk mencegah kebangkrutan. Namun, kebijakan tersebut tidak bisa dilakukan secara permanen dan perlunya transparansi dalam penyaluran bantuan.

"Kebijakan penangguhan dan pemotongan pajak sementara telah mendukung likuiditas tetapi berisiko menjadi kebijakan permanen yang akan mengorbankan pendapatan pemerintah," imbuhnya. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

15 Oktober 2020 | 12:35 WIB

tidak dapat dipungkiri bahwa pandemik yg melanda dunia saat ini akan memberikan dampak yg signifikan terhadap ekonomi di banyak negara termasuk Indonesia.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 26 April 2024 | 14:37 WIB PERATURAN PERPAJAKAN

Juknis Penghapusan Piutang Bea Cukai, Download Aturannya di Sini

Kamis, 25 April 2024 | 17:30 WIB KEBIJAKAN ENERGI

Pemerintah Siapkan Tarif Royalti 0% untuk Proyek Hilirisasi Batu Bara

Kamis, 25 April 2024 | 15:30 WIB KEBIJAKAN ENERGI

RI Pasang Target Lebih Ambisius dalam Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca

Kamis, 25 April 2024 | 14:17 WIB KABUPATEN JOMBANG

Objek PBB-P2 Didata Ulang, Pemkab Hitung Pajak Terutang yang Akurat

BERITA PILIHAN
Jumat, 26 April 2024 | 17:30 WIB REFORMASI PAJAK

Reformasi Pajak, Menkeu Jamin Komitmen Adopsi Standar Pajak Global

Jumat, 26 April 2024 | 17:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT Jasa Parkir dan Retribusi Parkir?

Jumat, 26 April 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN KEPABEAN

Impor Barang Kiriman? Laporkan Data dengan Benar agar Tak Kena Denda

Jumat, 26 April 2024 | 16:30 WIB PENERIMAAN PAJAK

Setoran PPN-PPnBM Kontraksi 16,1 Persen, Sri Mulyani Bilang Hati-Hati

Jumat, 26 April 2024 | 15:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Ada Usulan Tarif Pajak Kripto untuk Dipangkas, Begini Tanggapan DJP

Jumat, 26 April 2024 | 15:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Sudah Lapor SPT Tapi Tetap Terima STP, Bisa Ajukan Pembatalan Tagihan

Jumat, 26 April 2024 | 14:37 WIB PERATURAN PERPAJAKAN

Juknis Penghapusan Piutang Bea Cukai, Download Aturannya di Sini

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Indonesia Ingin Jadi Anggota OECD, DJP: Prosesnya Sudah On Track

Jumat, 26 April 2024 | 14:00 WIB KANWIL DJP DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Korporasi Lakukan Tindak Pidana Pajak, Uang Rp 12 Miliar Disita Negara