Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji (kiri bawah) dan Analis Ahli Muda Kebijakan BKF Bagus Raharjo (kanan bawah).
JAKARTA, DDTCNews - Nilai belanja perpajakan suatu negara tidak dapat serta merta diperbandingkan dengan belanja perpajakan di negara lainnya.Â
Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai metode yang digunakan untuk menghitung revenue forgone akibat kebijakan belanja perpajakan.
"Tidak semua negara bisa mengalkulasi secara tepat berapa banyak revenue forgone karena caranya beda-beda. Ada yang statis di banyak negara termasuk Indonesia, ada juga yang dinamis dengan melihat multiplier effect-nya," ujar Bawono dalam acara Nyibir Fiskal yang disiarkan oleh BKF lewat akun Instagram resminya, Jumat (31/3/2023).
Bawono mengatakan saat ini rata-rata belanja perpajakan di negara-negara yang melaporkan belanja perpajakan adalah sebesar 3,8% dari PDB. Sementara itu, belanja perpajakan Indonesia pada 2021 dilaporkan sebesar 1,76% dari PDB dengan nilai mencapai Rp299,1 triliun.
Walau demikian, belanja perpajakan Indonesia tidak bisa serta merta disimpulkan terlalu rendah bila dibandingkan dengan negara lain.
Terlepas dari hal tersebut, Bawono menekankan laporan belanja perpajakan merupakan instrumen penting untuk melakukan evaluasi secara terus menerus terhadap fasilitas-fasilitas perpajakan yang diberikan oleh pemerintah.
Menurut Bawono, belanja perpajakan amat terkait dengan keputusan politik fiskal. Lewat laporan belanja perpajakan, setiap stakeholder dapat mengevaluasi apakah insentif yang diberikan sudah sesuai dengan tujuan pemberiannya.
Bawono berpandangan belanja perpajakan yang besar justru tidak menjadi masalah sepanjang kebijakan insentif tersebut memang mampu mendukung target-target yang dikehendaki.
"Insentif ini biasanya berkaitan dengan politik anggaran, ke mana ekonomi mau dibawa. Dengan adanya laporan belanja perpajakan, ini bisa menjadi titik awal mendesain arsitektur insentif perpajakan ke depan sesuai dengan visi Indonesia 2045," ujar Bawono.
Untuk diketahui, laporan belanja perpajakan yang dipublikasikan oleh BKF disusun menggunakan revenue forgone method. Lewat metode ini, belanja perpajakan diukur dengan cara menghitung selisih penerimaan pajak akibat adanya ketentuan belanja perpajakan.
Walau demikian, metode ini tidak turut mempertimbangkan adanya perubahan perilaku wajib pajak dan dampaknya terhadap perekonomian. (sap)