Ibu Ica mengemas sirop berbahan dasar buah pala di rumah produksi Serba Usaha, Kota Ternate, Maluku Utara, Minggu (20/11/2022). ANTARA FOTO/Andri Saputra/YU/nz.
JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak orang pribadi UMKM yang memiliki peredaran bruto (omzet) tidak melebihi Rp500 juta dalam 1 tahun pajak tidak dikenakan PPh final 0,5% sesuai PP 23/2018. Kendati demikian, Ditjen Pajak (DJP) menjelaskan terdapat kondisi yang membuat wajib pajak tersebut tetap dikenakan pajak.
Penyuluh Pajak Ahli Muda Direktorat P2Humas DJP Adella Septikarina menjelaskan wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta dalam 1 tahun pajak tetap dikenakan pajak jika melakukan transaksi dengan bendahara pemerintah.
“Iya memang ada ketentuan ya. Jika memang bertransaksi dengan pemotong atau pemungut dalam artian ini bendahara pemerintah maka tetap harus dipungut nih pajaknya,” ujar Adella dalam TaxLive bertajuk Aspek Perpajakan Seller Online, dikutip Senin (28/11/2022).
Namun, Adella juga menambahkan bahwa atas pajak yang dipotong atau dipungut oleh bendaharawan pemerintah tersebut dapat dilakukan pengajuan pengembalian pajak oleh wajib pajak kepada kantor pelayanan pajak (KPP) terdaftar.
“Namun, memang nanti di akhir tahun kawan pajak dapat meminta pengembalian ke kantor pajak terdaftar jika memang omzetnya di bawah Rp500 juta,” tambah Adella.
Selain itu, sesuai PMK 187/2015, wajib pajak juga dapat melakukan pengajuan pengembalian pajak dengan menyampaikan permohonan ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal wajib pajak. Dalam hal wajib pajak tersebut tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Kemudian, wajib pajak juga diberikan alternatif lainnya. Selain dapat menyampaikan secara langsung, wajib pajak juga dapat menyampaikan pemohonannya melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi dengan bukti pengiriman surat.
Sebagai informasi, permohonan yang diajukan wajib pajak juga harus dilampiri dengan 3 dokumen lainnya. Pertama, asli bukti pembayaran pajak berupa surat setoran pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang dipersamakan.
Kedua, penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang. Ketiga, alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. (Fauzara Pawa Pambika/sap)