Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) mengingatkan lagi mengenai penerapan asas ultimum remedium yang ada pada tahap penyidikan. Penerapan asas tersebut sudah masuk dalam Pasal 44A dan Pasal 44B UU KUP s.t.d.t.d UU HPP.
Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP Giyarso mengatakan sesuai dengan Pasal 44A, salah satu hal yang bisa membuat penyidik menghentikan penyidikan adalah wajib pajak telah mengungkap ketidakbenaran perbuatan yang diatur pada Pasal 8 ayat (3) atau pada saat pemeriksaan bukti permulaan (bukper).
“Jadi, untuk pengungkapan tersebut bukan pada saat penyidikan, tetapi dulu pada saat pemeriksaan bukti pemulaan yang kemudian diteliti sampai penyidikan ini, rupanya sudah sesuai keadaan sesungguhnya,” ujarnya dalam Taxlive, dikutip pada Senin (26/9/2022).
Giyarso mengatakan jika hasil pemeriksaan bukper ditemukan bukti permulaan yang cukup, otoritas akan menindaklanjuti dengan penyidikan. Dalam kondisi dan pertimbangan tertentu, pemeriksaan bukper masih dapat naik ke penyidikan meskipun wajib pajak sudah mengungkapkan ketidakbenaran.
“Pemeriksaan bukper bisa dilanjutkan ke penyidikan walaupun sudah dilakukan pengungkapan tadi. Dalam tahap penyidikan, jika pengungkapan tadi sudah sesuai dengan keadaan sebenarnya maka akan menjadi pertimbangan penyidik menghentikan penyidikan,” jelas Giyarso.
Namun, jika pengungkapan ketidakbenaran pada saat pemeriksaan bukper masih belum sesuai dengan kondisi sebenarnya, pembayaran akan diperhitungkan sebagai pengurang kerugian pada pendapatan negara tahap penyidikan.
Kemudian, sesuai dengan Pasal 44B ayat (1) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP, untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan menteri keuangan, jaksa agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 bulan sejak tanggal surat permintaan.
“Tetapi ada syaratnya. Bukan berarti [dengan] permintaan, langsung dihentikan,” imbuh Giyarso.
Sesuai dengan Pasal 44B ayat (2), syaratnya adalah wajib pajak atau tersangka menulasi kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif. Untuk sanksi terkait dengan Pasal 38 berupa denda sebesar 1 kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.
Kemudian, untuk sanksi terkait dengan Pasal 39 berupa denda sebesar 3 kali jumlah kerugian pada pendapatan negara. Sementara untuk sanksi terkait dengan Pasal 39A berupa denda 4 kali dari jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
“Ini agak berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang langsung 4 kali dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar. Sekarang, sanksinya dibuat berlevel-level sesuai dengan derajat kesalahan [Pasal 38, 39, dan 39A]. Ini untuk memenuhi asas keadilan,” imbuh Giyarso. Simak pula ‘Ini Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perpajakan, DJP: Tolong Dihindari’. (Fikri/kaw)