Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) telah menerbitkan sebanyak 9,5 juta surat imbauan atau permintaan penjelasan selama 2019—2021. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (25/7/2022).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan penerbitan surat imbauan atau permintaan penjelasan didasarkan pada hasil pemetaan risiko kepatuhan wajib pajak melalui penggunaan compliance risk management (CRM).
“CRM adalah mesin risiko yang memetakan risiko kepatuhan wajib pajak berdasarkan data SPT (Surat Pemberitahuan) yang disandingkan dengan data yang diterima dari pihak ketiga. Hal inilah yang menjadi dasar penerbitan surat imbauan atau permintaan penjelasan,” ujarnya.
Total imbauan atau permintaan penjelasan tersebut disampaikan kepada sekitar 3,9 juta wajib pajak. Neilmaldrin mengatakan dalam melakukan pengawasan kepatuhan Wajib Pajak, DJP juga memetakan wajib pajak berdasarkan skala usahanya.
Selain pemberian surat imbauan atau permintaan penjelasan, ada pula bahasan tentang perpanjangan periode pemberian insentif pajak terkait dengan pandemi Covid-19. Selain itu, ada pula bahasan mengenai ketentuan penggunaan NIK sebagai NPWP orang pribadi.
Pengawasan yang dilakukan berdasarkan skala usaha membagi wajib pajak di KPP Pratama menjadi 2 kategori, wajib pajak strategis dan wajib pajak kewilayahan. Klasifikasi ini dimaksudkan agar pengawasan berjalan lebih efisien.
Terhadap wajib pajak strategis, DJP melakukan pengawasan secara lebih intensif. Hal ini dikarenakan skala usaha mereka lebih besar, lebih kompleks, dan proses bisnisnya lebih rumit. Mereka dikelola oleh satu seksi tersendiri.
“Dalam kurun waktu tahun 2020 sampai dengan bulan Juni 2022 DJP telah menerbitkan lebih dari 400.000 surat imbauan atau permintaan penjelasan kepada wajib pajak strategis tersebut,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor.
Terhadap wajib pajak kewilayahan, pengawasan dilakukan melalui penguasaan wilayah kerja dan memanfaatkan data terkait izin mendirikan bangunan, izin usaha, peta wilayah, dan sebagainya. Data ini disusun menjadi Daftar Sasaran Ekstensifikasi (DSE) sebagai dasar ekstensifikasi. (DDTCNews)
DJP selalu menindaklanjuti setiap informasi, termasuk tentang potensi pajak, yang diterima dari berbagai pihak. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengatakan otoritas terbuka terhadap setiap informasi yang berkaitan dengan kegiatan usaha atau potensi pajak dari masyarakat.
“Setiap informasi yang masuk, kami tindaklanjuti secara sistematis. Kami punya prosedur bernama pemeriksaan atas informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP),” tegasnya. Simak pula ‘Berbekal Data yang Diperoleh, DJP Uji Kepatuhan dan Awasi Wajib Pajak’. (DDTCNews)
Pemerintah resmi memperpanjang periode pemberian 2 kelompok insentif pajak hingga Desember 2022. Pertama, pemberian insentif pajak untuk penanganan pandemi Covid-19 melalui PMK 113/2022 yang mengubah PMK 226/2021. Kedua, pemberian insentif pajak untuk wajib pajak terdampak pandemi Covid-19 melalui PMK 114/2022 yang mengubah PMK 3/2022.
“Untuk jenis insentif yang diperpanjang itu semuanya, tidak ada perubahan. Pemerintah inginnya dengan dukungan ini, pemulihan dan penanganan Covid-19 menjadi lebih cepat,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor. Simak pula ‘Ada Beberapa Perubahan Pengaturan dalam 2 PMK Baru Insentif Pajak’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU) akan disampaikan secara bertahap kepada wajib pajak melalui laman DJP, email wajib pajak, atau contact center DJP.
"Untuk itu, sampai dengan 31 Desember 2023, wajib pajak cabang masih dapat menggunakan NPWP yang dipakai selama ini [15 digit] untuk pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya," katanya.
Untuk wajib pajak cabang yang baru didaftarkan sejak PMK 112/2022 berlaku hingga 31 Desember 2023, DJP akan memberi NPWP cabang dan NITKU. Pada 1 Januari 2024, NITKU mulai diterapkan penuh sebagai identitas tempat kegiatan usaha yang terpisah dari tempat kedudukan. (DDTCNews)
Wajib pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan status nonefektif (NE) masih bisa menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP. Syaratnya, status NPWP perlu diaktivasi kembali.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan wajib pajak ber-NPWP nonefektif perlu mengajukan permohonan aktivasi NPWP kembali jika ingin memanfaatkan NIK saat mengakses layanan pajak.
"Untuk wajib pajak nonefektif dan ingin diaktifkan kembali, dapat langsung ke KPP terdaftar untuk minta diaktifkan," ujar Neilmaldrin. (DDTCNews)
Pemerintah berencana melakukan penghapusan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor yang tidak melakukan pengesahan STNK, pembayaran pajak, dan pembayaran SWDKLLJ selama 2 tahun.
Terlepas dari dasar hukum yang belum mengatur mengenai sanksi tersebut serta pihak yang memiliki kewenangan, Partner DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji berpendapat indikasi kepatuhan pajak kendaraan bermotor (PKB) yang belum optimal terlihat dari kerapnya pemberlakuan pemutihan di berbagai provinsi.
Upaya untuk meningkatkan lebih banyak menggunakan instrumen pengampunan, bukan punishment. Skema skema pemutihan pada dasarnya bisa menciptakan moral hazard karena wajib pajak daerah hanya akan patuh dengan menunggu skema pengampunan. Adanya skema punishment mungkin bisa menjadi alternatif optimalisasi kepatuhan. (Bisnis Indonesia)
DJP tengah menyusun prosedur permohonan aktivasi NIK sebagai NPWP. Dengan adanya format baru NPWP sesuai dengan PMK 112/2022, terdapat beberapa ketentuan bagi wajib pajak yang belum ataupun sudah memiliki NPWP.
“Ketentuan teknis selengkapnya seperti bagaimana prosedur permohonan aktivasi NIK saat ini sedang dalam tahap penyusunan di internal DJP dan akan segera diterbitkan,” kata Neilmaldrin. (DDTCNews) (kaw)