Kepala Seksi Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh II Ditjen Pajak (DJP)Â Ilmianto Himawan. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak harus cermat dalam memperlakukan transaksi sewa untuk kepentingan penghitungan pajak.
Kepala Seksi Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh II Ditjen Pajak (DJP)Â Ilmianto Himawan menerangkan ada perbedaan dalam mengidentifikasi sewa antara PSAK 73 dan ketentuan pajak.
Dengan demikian, bisa jadi suatu kontrak bisa dianggap mengandung sewa berdasarkan PSAK 73 tapi tidak dikategorikan sebagai sewa oleh ketentuan pajak, melainkan kontrak jual beli biasa.
"Akibat dari perbedaan ini, kami mencatat ada 1 contoh transaksi ya. Jual beli listrik kalau ketentuan PSAK 73 bisa mengandung sewa, tapi kalau di pajak ini bisa saja adalah jual beli listrik," ujar Ilmianto pada webinar Kupas Tuntas Isu-isu Perpajakan dalam Sewa, Selasa (30/11/2021).
Sebagaimana diatur pada PSAK 73, suatu kontrak mengandung sewa jika kontrak tersebut memberikan hak untuk mengendalikan penggunaan aset identifikasian selama suatu jangka waktu untuk dipertukarkan dengan imbalan.
Definisi sewa yang tertuang pada Pasal 4 UU PPh tergolong lebih sederhana. "Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang," bunyi ayat penjelas dari Pasal 4 ayat (1) huruf i UU PPh.
Sesuai dengan Pasal 28 ayat (7) UU KUP, wajib pajak perlu menyelenggarakan pembukuan yang sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang lazim dipakai di Indonesia dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Bila ketentuan perpajakan menentukan lain, maka wajib pajak perlu memperlakukan sewa sesuai dengan ketentuan perpajakan yang ada.
"Oleh karena di pajak sudah kita atur khusus, ada PP 34/2017, ada PPh Pasal 23, ada KMK-416 dan KMK-417, maka itu artinya untuk ketentuan pelaksanaan kewajiban pajak terkait dengan sewa akan tunduk pada peraturan itu," ujar Ilmianto. (sap)