Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Batas waktu pelaporan realisasi pemanfaatan insentif untuk masa pajak Januari 2021 sampai dengan Juni 2021 paling lambat tanggal 30 November 2021. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (29/11/2021).
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 149/2021, batas waktu pelaporan realisasi pada 30 November 2021 tersebut berlaku untuk tiga jenis insentif, yaitu PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), PPh final UMKM, dan PPh final penerima P3-TGAI DTP.
“… dapat menyampaikan pembetulan laporan realisasi masa pajak Januari 2021 sampai dengan masa pajak Juni 2021 paling lambat tanggal 30 November 2021,” demikian bunyi Pasal 19B ayat 4 PMK 149/2021.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pihak yang memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final UMKM DTP, ataupun PPh final jasa konstruksi DTP atas P3-TGAI harus menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan insentif.
Laporan tersebut harus disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Kendati laporan telah disampaikan, DJP memberikan kesempatan bagi pemberi kerja, wajib pajak, dan/atau pemotong pajak untuk menyampaikan pembetulan.
Pemberi kerja (untuk PPh Pasal 21 DTP), wajib pajak (untuk PPh final UMKM), dan/atau pemotong pajak (untuk PPh final jasa konstruksi) dapat menyampaikan pembetulan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan berakhir.
Namun, melalui PMK 149/2021, DJP memberikan kesempatan bagi pemberi kerja, wajib pajak, dan/atau pemotong pajak untuk menyampaikan pembetulan laporan realisasi masa Januari – Juni 2021 paling lambat 30 November 2021.
Selain mengenai batas waktu pembetulan, ada juga bahasan tentang keputusan Mahkamah Agung soal UU Cipta Kerja. Ada pula bahasan tentang wajib pajak yang menerima SP2DK, tetapi bisa mengikuti kebijakan II program pengungkapan sukarela (PPS). Berikut ulasan berita selengkapnya.
Dapat SP2DKP, WP Orang Pribadi Tetap Boleh Ikut PPS
Wajib pajak orang pribadi yang mendapatkan surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK) tetap bisa mengikuti kebijakan II program pengungkapan sukarela (PPS) pada tahun depan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan hanya wajib pajak orang pribadi yang sedang dilakukan pemeriksaan saja yang tidak dapat mengikuti skema atau kebijakan II PPS.
"Jadi kalau SP2DK, wajib pajak masih bisa memenuhi ketentuan tersebut. Kalau harus dilakukan pembetulan maka dapat dilaksanakan [pembetulan] saat ini, tetapi tidak dengan PPS," ujarnya.
Kesempatan yang ditawarkan pemerintah melalui PPS diharapkan dapat dimanfaatkan wajib pajak orang pribadi khususnya UMKM yang terlanjur memiliki penghasilan dan harta yang tidak dilaporkan pada SPT. (DDTCNews)
Ratusan Perusahaan Belum Jalankan Putusan Inkracht
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan masih terdapat perusahaan yang belum menjalankan putusan KPPU meski kasus hukumnya telah inkracht (berkekuatan hukum tetap).
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur mengatakan, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dari perintah eksekusi oleh PN, KPPU akan menyampaikan surat penagihan ke pelaku usaha.
“Tetap diupayakan penagihannya, sambil kami menggarap kerja sama dengan Kejaksaan maupun Ditjen Pajak untuk bisa bersama-sama menindak perilaku itu, sesuai kewenangan masing-masing,” tuturnya. (Kontan)
Nasib Aturan Perpajakan
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan Ditjen Pajak sudah menyelesaikan berbagai aturan turunan dari UU Cipta Kerja. Menurutnya, tidak ada lagi aturan turunan yang akan diterbitkan sehingga tidak akan terkendala oleh putusan MK.
"Aturan pelaksanaan di DJP sudah semua. Klaster pajak tidak ada isu lagi, karena kalau mengikuti putusan MK tidak boleh membuat aturan baru, DJP sudah membuat aturan turunan semuanya, tinggal dilaksanakan," katanya
Aturan turunan terkait dengan perpajakan dari UU Cipta Kerja di antaranya Peraturan Pemerintah No. 9/2021. Beleid itu mengatur perlakuan perpajakan untuk mendukung kemudahan berusaha dan mempercepat implementasi kebijakan strategis di bidang perpajakan. (Bisnis Indonesia)
Tarif Cukai Rokok
Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani menuturkan upaya utak-atik tarif cukai rokok berdasarkan pertimbangan sejumlah faktor, yakni pengendalian rokok ilegal, kesehatan, tenaga kerja, industri, dan petani.
“Kami juga tidak bisa mengabaikan permintaan yang cukup signifikan kepada APBN dari sisi penerimaan,” tutur Askolani, baru-baru ini.
Tarif CHT pada 2022 diperkirakan pada kisaran 10%—18%. Angka batas bawah mengacu pada pertumbuhan target penerimaan cukai rokok dan pajak rokok, sedangkan batas atas sebagai angka ideal mempertimbangkan aspek pengendalian dan penerimaan negara. (Bisnis Indonesia)
Tren Pengajuan Permohonan Keberatan
Ditjen Pajak (DJP) mencatat terjadi tren peningkatan jumlah permohonan keberatan yang diajukan wajib pajak. Hingga Oktober 2021, pengajuan keberatan mencapai 19.037 permohonan, naik 11 dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 17.181 permohonan keberatan.
"Permohonan keberatan menunjukkan tren peningkatan sampai dengan Oktober 2021," kata Direktur Keberatan dan Banding DJP Wansepta Nirwanda.
Pada tahun lalu, permohonan keberatan yang disampaikan wajib pajak kepada DJP mencapai 20.692 pengajuan. Kemudian, sebanyak 18.849 permohonan keberatan bisa diselesaikan DJP. (DDTCNews)