Ilustrasi. Warga mengunjungi Mal Central Park di Jakarta Barat, Selasa (24/8/2021). Selama masa PPKM level 3 di Jakarta, Pemerintah menyesuaikan operasional pusat perbelanjaan bisa dibuka hingga pukul 20.00 WIB dengan pembatasan 50 persen dari kapasitas serta restoran dapat menyelenggarakan makan di tempat dengan pembatasan 25 persen dari kapasitas atau maksimal dua orang per meja. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj.
JAKARTA, DDTCNews - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyampaikan pendapat terkait dengan revisi RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sedang dibahas di DPR.
Ketum Aprindo Roy N. Mandey mengatakan asosiasi meminta Komisi XI meninjau ulang opsi kenaikan tarif PPN dan skema multitarif. Menurutnya, rencana perubahan tersebut tidak tepat jika dieksekusi pada situasi pandemi saat ini.
"Peningkatan tarif dan penerapan multitarif PPN untuk saat ini sangat kurang tepat. Berbagai sektor termasuk di antaranya ritel modern saat ini sedang dalam kondisi terpuruk," katanya dalam keterangan resmi, dikutip pada Kamis (26/8/2021).
Roy menjelaskan kenaikan tarif umum PPN dari 10% menjadi 12% akan berdampak pada daya beli. Dampak lanjutan akan menekan konsumsi rumah tangga yang menjadi kontributor terbesar dalam perekonomian nasional.
Tingkat inflasi juga akan meningkat seiring dengan kenaikan harga barang akibat kenaikan tarif pajak. Sistem multitarif PPN juga berpotensi menciptakan shadow economy baru karena konsumen yang beralih belanja di luar negeri untuk menghindari beban pajak.
Asosiasi juga berharap kebijakan alternative minimum tax pada perusahaan dengan status merugi juga dapat ditangguhkan penerapannya. Pada situasi pandemi ini, kebijakan tersebut akan berdampak pada perusahaan ritel yang sedang mengalami kerugian.
"PPh minimal sebesar 1% ini menambah beban bagi berbagai sektor termasuk peritel yang mengalami kerugian," jelas Roy.
Roy menambahkan asosiasi setidaknya menyampaikan 7 rekomendasi terkait dengan pembahasan RUU KUP. Pertama, hasil revisi RUU KUP dapat ditangguhkan penerapannya apabila masih dalam situasi pandemi.
Kedua, pemerintah bisa mengoptimalkan proses bisnis ekstensifikasi subjek dan objek pajak. Ketiga, meningkatkan program kepatuhan wajib pajak melalui komunikasi publik dan keadilan penerapan kebijakan perpajakan.
Keempat, memperkuat post border tax untuk barang yang dibeli secara daring dari luar negeri. Kelima, meningkatkan tarif atau penerapan multitarif PPnBM. Keenam, peningkatan fungsi pengawasan pajak.
Ketujuh, perlu dibuatnya satgas perpajakan yang melibatkan berbagai unsur seperti pemda, Polri dan Kejaksaan. "Bagi wajib pajak yang melakukan penggelapan atau mengemplang pajak perlu dilakukan tindakan hukum yang presisi sebagai efek jera," ujar Roy. (rig)