Ilustrasi.
PENGURANGAN hingga penghapusan pengecualian (exemption) tidak pernah terlewat dalam daftar rekomendasi berbagai organisasi internasional – sebut saja IMF, World Bank, dan OECD – ketika mengevaluasi kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia.
Dalam Realizing Indonesia's Economic Potential misalnya, IMF menyatakan pengecualian PPN membuat efisiensi dan netralitas berkurang signifikan. C-efficiency ratio Indonesia sekitar 0,6. Artinya, otoritas hanya mengumpulkan 60% dari total penerimaan PPN jika tarif 10% dikenakan atas semua konsumsi.
World Bank dalam Public Expenditure Review: Spending for Better Results mengungkapkan belanja perpajakan (tax expenditure) akibat pengecualian PPN dan tingginya threshold pengusaha kena pajak (PKP) lebih banyak dinikmati masyarakat kelas menengah ke atas ketimbang masyarakat kelas bawah.
Kemudian, berdasarkan pada OECD Economic Survey of Indonesia 2021, kecenderungan menurunnya kontribusi PPN terhadap total penerimaan pajak diakibatkan adanya pengecualian dan ketidakpatuhan.
Otoritas pun mengakui pengecualian serta fasilitas PPN yang ada di Indonesia relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan di negara-negara tetangga. Dalam ketentuan yang berlaku saat ini, ada 4 kelompok barang dan 17 kelompok jasa yang tidak dikenakan PPN.
Dengan kondisi tersebut, baik IMF, World Bank, maupun OECD sepakat memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia agar menghapus sebagian besar pengecualian PPN. Tujuannya jelas, untuk memperluas basis PPN sehingga penerimaan pajak lebih optimal.
“Perluas basis PPN dengan menghapus sebagian besar pengecualian, terutama untuk barang setengah jadi,” demikian bunyi penggalan rekomendasi OECD.
Rencana pemerintah untuk mengkaji pengecualian PPN sudah mulai terdengar pada 2018. Tahun lalu, kajian itu rencananya digunakan untuk merumuskan RUU tentang Pajak atas Barang dan Jasa (PBJ) yang semula akan menggantikan UU PPN.
Masuk Revisi UU KUP
TANPA menunggu pembahasan revisi UU PPN, dalam perkembangan teranyar, pemerintah akan memasukkan penghapusan sejumlah pengecualian dan fasilitas PPN dalam revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.
Dalam dokumen KEM-PPKF 2022, pemerintah mengatakan penerapan fasilitas PPN terutama untuk mendukung perkembangan sektor ekonomi tertentu yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.
Namun, menurut pemerintah, pemberian fasilitas PPN berupa pembebasan pada praktiknya justru dapat mendistorsi daya saing produk lokal. Selain itu, terdapat indikasi adanya fasilitas PPN yang tidak tepat sasaran dan berpotensi mengikis basis pemajakan atau mengurangi penerimaan pajak.
“Kita melihat PPN menjadi sangat penting dari sisi keadilan atau [terkait dengan] jumlah sektor yang harus tidak dikenakan atau dikenakan," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (24/5/2021).
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan pengecualian dan fasilitas PPN memang diperlukan untuk menjamin sistem PPN yang adil serta melindungi masyarakat tidak mampu. Namun, untuk mewujudkan prinsip netralitas dan mencegah VAT gap yang besar, banyak negara meninjau berbagai pengecualian dan fasilitas tersebut secara rutin.
“Sejak krisis 2008, tren untuk membatasi pengecualian dan fasilitas PPN terus meningkat,” ujar Darussalam. Simak Perspektif ‘Tren Global PPN: Kenaikan Tarif, Multitarif, dan Pembatasan Fasilitas’.
Dalam dokumen KEM-PPKF 2022 disebutkan pengurangan pengecualian dibarengi dengan implementasi skema PPN multitarif diharapkan mampu menjadi kebijakan komplementer penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan. Pasalnya, PPh badan akan diarahkan sebagai instrumen kebijakan sisi penawaran, baik melalui penurunan tarif maupun pemberian insentif.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan ada pula kecenderungan negara-negara berpenghasilan menengah dan tinggi untuk mengarahkan penerimaan pajaknya lebih banyak dari PPN, bukan PPh. Hal ini pada gilirannya akan berpengaruh pada pengurangan ketergantungan pada PPh badan.
“Ini salah satu model yang kita pertimbangkan untuk reformasi perpajakan ke depan. Belanja pajak dari sisi PPN ini memang benar cukup besar dan ini sedang dievaluasi,” ujar Febrio dalam sebuah webinar awal Agustus 2020.
Pasalnya, realisasi belanja perpajakan (tax expenditure) dari tahun ke tahun selalu didominasi belanja PPN dan PPnBM. Pada 2019, estimasi belanja perpajakan mencapai Rp257,22 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar 65% atau sekitar Rp166,92 triliun merupakan belanja PPN dan PPnBM.
Dukungan Pemerintah
MESKIPUN mempertimbangkan pengenaan PPN atas barang yang saat ini diberikan fasilitas, pemerintah juga akan tetap memprioritaskan dukungan terhadap masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk untuk pemenuhan kebutuhan dasar.
Sesuai dengan rencana pemerintah dalam dokumen KEM-PPKF 2022, pemberian dukungan dapat ditempuh dengan menetapkan tarif yang lebih rendah maupun secara sinergis melalui mekanisme kebijakan belanja bansos atau transfer ke golongan masyarakat berpenghasilan rendah.
Dalam laporannya, World Bank mengatakan tambahan penerimaan pajak yang didapat dari penghapusan pengecualian dari pengenaan PPN dapat digunakan sebagian untuk mengurangi dampak pada 40% masyarakat miskin melalui transfer tunai (targeted cash transfers).
Pasalnya, pengecualian dari pengenaan PPN yang diberikan pemerintah memiliki dampak yang cenderung regresif. Mirip dengan subsidi pada harga, pengecualian ini lebih banyak dinikmati oleh masyarakat yang lebih kaya.
Sebagai bagian dari pendapatan rumah tangga, sambung World Bank, pengecualian cenderung lebih penting bagi masyarakat miskin. Namun, penghapusan pengecualian PPN nantinya akan menghasilkan tambahan penerimaan negara yang signifikan.
Biaya fiskal untuk mengimbangi dampak penghapusan pengecualian PPN pada 40% terbawah adalah sekitar 0,2% PDB. Dengan menggunakan rata-rata sederhana, menurut World Bank, penghapusan pengecualian PPN akan memberi keuntungan fiskal 0,4% PDB. Artinya, ada laba fiskal (untuk negara) sebesar 0,2% PDB.
Hingga saat ini, pemerintah belum menjelaskan detail rencana kebijakan yang akan ditempuh meskipun draf revisi UU KUP sudah banyak beredar. Satu hal yang pasti, pengurangan pengecualian dan penataan ulang fasilitas PPN pada akhirnya ikut masuk dalam revisi UU KUP karena bersamaan dengan momentum konsolidasi fiskal pascapandemi Covid-19. Defisit anggaran harus kembali di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2023.
Dirjen Pajak Suryo Utomo sebelumnya mengatakan pada masa pandemi Covid-19, ada peningkatan kebutuhan belanja negara. Pada saat bersamaan, penerimaan negara mengalami penurunan. Dalam situasi ini, konsolidasi fiskal sangat dibutuhkan.
“Kita perlu mencari alternatif di tengah ruang fiskal yang makin sempit," ujar Suryo. (kaw)