Ilustrasi.
GLOBALISASI dan digitalisasi ekonomi mengubah lanskap perekonomian global secara signifikan. Perubahan tersebut menciptakan model bisnis baru yang memanfaatkan kemutakhiran teknologi, termasuk di antaranya perdagangan melalui sistem elektronik.
Perdagangan online memungkinkan pengiriman atau pemanfaatan produk kepada konsumen yang berlokasi di berbagai tempat dalam satu waktu. Perubahan ini membuat peredaran barang, jasa, dan produk digital makin masif dan berimplikasi pada sistem perpajakan, salah satunya PPN.
Hal ini dikarenakan pemungutan PPN berpegang teguh pada prinsip destinasi yang pemungutannya melihat pada lokasi konsumen akhir. Namun demikian, perdagangan online membuat otoritas pajak kesulitan menentukan lokasi dari konsumen akhir dengan tepat.
Untuk itu, aturan dan sistem pemungutan PPN yang baru dibutuhkan untuk menjawab tantangan globalisasi dan digitalisasi ini. Selain dapat menghasilkan penerimaan, aturan itu dapat meminimalkan distorsi persaingan antara pedagang online dan tradisional.
Berbagai negara telah menerapkan PPN digital. Saat ini, setidaknya 70 negara yang telah menerapkan PPN digital. Sementara itu, sekitar 40 yurisdiksi tengah menyusun standar dan akan menerapkannya (OECD, 2021).
Indonesia juga telah mengenakan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) melalui UU 2/2020 dan PMK 48/2020. Realisasi penerimaan PPN dari PMSE hingga 31 Mei 2021 sudah mencapai Rp2,1 triliun.
Lantas, bagaimana dengan negara/yurisdiksi lain? Berikut penerimaan PPN digital per April 2021 dari kelima negara yang tercantum dalam laporan OECD bertajuk OECD Secretary-General Tax Report To G20 Finance Ministers And Central Bank Governors pada April 2021.