Para pembicara dalam Virtual Policy Dialogue on Taxation in the Digital Economy: New Models in Asia and the Pacific yang diselenggarakan Asian Development Bank Institute (ADBI), Rabu (27/1/2021).Â
JAKARTA, DDTCNews – Pemanfaatan artificial intelligence (AI) berpotensi besar mempercepat proses identifikasi praktik penggelapan pajak (tax evasion) yang dilakukan orang pribadi dan korporasi multinasional di negara berkembang Asia dan Pasifik.
Dalam Virtual Policy Dialogue on Taxation in the Digital Economy: New Models in Asia and the Pacific, Mohammad Hassan Shakil dari Taylor's University mengatakan banyak korporasi multinasional yang memanfaatkan celah-celah yang ada untuk melakukan tax evasion di negara berkembang Asia dan Pasifik.
"Di sini korporasi multinasional memanfaatkan celah hukum dalam ketentuan pajak serta kurangnya kapabilitas otoritas pajak dalam pemanfaatan teknologi ketika melakukan tax evasion," ujar Shakil dalam acara yang diselenggarakan Asian Development Bank Institute (ADBI), Rabu (27/1/2021).
Secara umum, terdapat 3 mekanisme pemeriksaan yang dilakukan oleh otoritas pajak yakni pemeriksaan secara manual dan otomatis serta melalui whistleblowing. Menurutnya, pemeriksaan kepatuhan wajib pajak secara manual atau melalui whistleblowing cenderung menghabiskan waktu.
Oleh karena itu, diperlukan pemanfaatan teknologi melalui pemeriksaan secara otomatis dan terkomputerisasi. Langkah ini diperlukan untuk mendeteksi praktik pengelakan pajak dengan cepat dan efektif.
"Machine learning tools dan pemanfaatan big data bisa digunakan untuk mendeteksi pengelakan pajak. Teknologi bisa melakukan simulasi untuk mendeteksi indikasi penggelapan pajak. Melalui AI, penerimaan pajak negara berkembang bisa ditingkatkan," ujar Shakil.
Meski demikian, Shakil juga mengungkapkan beberapa tantangan yang perlu diatasi apabila otoritas pajak ingin menggunakan AI untuk meningkatkan kemampuan otoritas dalam mengidentifikasi penggelapan pajak.
Shakil mengatakan kemampuan negara berkembang di Asia dan Pasifik untuk mengimplementasikan AI pada sistem perpajakan masih cenderung terbatas. Selain itu, masih banyak tenaga profesional pajak yang pesimistis terhadap pemanfaatan teknologi AI.
"Teknologi AI masih dipandang sulit untuk diimplementasikan dan dinilai bisa menimbulkan masalah baru," ujar Shakil.
Menurutnya, persepsi ini timbul karena masih kurangnya pemahaman stakeholder atas teknologi AI. Masih ada beberapa pihak yang khawatir kehadiran AI bakal mengancam pekerjaan tenaga profesional pajak. Oleh karena itu, perlu adanya pelatihan bagi tenaga profesional pajak agar manfaat AI dapat dipahami oleh seluruh stakeholder.
Dari sisi implementasi dan pengembangan, Shakil mencatat jumlah tenaga kerja yang mampu mengembangkan AI dan memahami coding di negara berkembang Asia dan Pasifik masih minim. Selain itu, masih banyak negara berkembang yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dana pengembangan AI.
Dalam acara tersebut, Research Coordinator DDTC Fiscal Research Denny Vissaro selaku penanggap memberikan 3 catatan penting atas kajian yang disampaikan Shakil. Pertama, proses bisnis AI dalam mendeteksi aggressive tax planning dan beberapa skema tax fraud perlu dielaborasikan secara lebih terperinci.
Kedua, AI juga perlu mengambil peran penting dalam menindaklanjuti isu-isu perpajakan terkini dan potensi pemanfaatannya pada masa yang akan datang. Contohnya, AI bisa mengambil peran penting dalam meningkatkan efektivitas automatic exchange of information (AEoI) yang sudah diterapkan dalam beberapa tahun terakhir. Ketiga, pemanfaatan AI dalam proses administrasi pajak juga perlu dilengkapi dengan tindak lanjut atas isu perlindungan hak wajib pajak.
"Di Uni Eropa kita mengenal adanya General Data Protection Regulation (GDPR). Regulasi ini memberikan framework bagi AI dan machine learning sehingga pengembangannya teknologi tersebut tetap menjamin rasa aman wajib pajak atas data yang dikumpulkan," ujar Denny. (kaw)