Ilustrasi. Sejumlah pekerja melakukan pelintingan rokok di Kudus, Jawa Tengah, Kamis (22/10/2020). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.
JAKARTA, DDTCNews – Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) meminta pemerintah untuk terlebih dahulu menyerap aspirasi pelaku usaha sebelum menentukan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2021.
Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan mengatakan industri pengolahan tembakau merupakan salah satu industri yang ikut terdampak pandemi Covid-19. Oleh karena itu, ia berharap kenaikan tarif cukai dapat mempertimbangkan kondisi tersebut.
Tak hanya soal pandemi, lanjut Henry, industri hasil tembakau (IHT) juga mengalami tekanan dari kenaikan CHT tahun ini. Oleh karena itu, rencana kenaikan tarif CHT 2021 pada kisaran 13%—20% oleh otoritas fiskal bukan pilihan tepat di mata pelaku usaha.  Â
"Kenaikan tarif CHT 2020 yang sangat tinggi dan pelemahan daya beli akibat pandemi Covid-19 salah satu berdampak pada sektor IHT," katanya dalam keterangan resmi, Senin (23/11/2020).
Saat ini, sambung Henry, IHT membutuhkan waktu untuk pemulihan bisnis akibat pandemi Covid-19. Dukungan kebijakan perpajakan dalam bentuk tidak meningkatkan tarif cukai rokok pada tahun depan menjadi harapan besar pelaku usaha IHT.
Dengan tarif CHT yang tidak berubah, proses pemulihan bisnis pengolahan tembakau akan lebih cepat. Pada saat yang sama, kebijakan tersebut akan mempertahankan ratusan ribu lapangan kerja di sektor industri hasil tembakau.
"Salah satu aspirasi pelaku usaha yang patut dipertimbangkan adalah tidak menaikkan cukai hasil tembakau rokok setelah tahun ini. Sebab, IHT dua kali dihantam badai. Badai akibat kenaikan cukai 23% dan harga jual eceran (HJE) 35%, serta pandemi," jelas Henry.
Bila tarif CHT tetap meningkat tahun depan, ia menilai hal tersebut akan makin menekan bisnis pengolahan tembakau. Sejumlah dampak lanjutan dari kebijakan tersebut akan dirasakan oleh petani, tenaga kerja dan kerja bea cukai dalam memerangi peredaran rokok ilegal.
"[Jika tarif CHT 2021 naik] akan berdampak negatif terhadap penerimaan negara, serapan bahan baku, petani tembakau dan cengkeh, rasionalisasi tenaga kerja, serta rokok ilegal," tutur Henry. (rig)