Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Beleid terkait tax examination abroad (TEA) dalam skema pertukaran informasi berdasarkan permintaan atau exchange of information on request (EoIR) menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (14/2/2020).
TEA adalah kehadiran perwakilan Ditjen Pajak (DJP) dalam rangka pencarian dan/atau pengumpulan Informasi yang dilakukan oleh otoritas perpajakan negara mitra atau yurisdiksi mitra, atau sebaliknya, berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Direktur Perpajakan Internasional DJP John Hutagaol mengatakan terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-02/PJ/2020 akan membantu kerja otoritas. Hadirnya TEA menjadi alternatif selain prosedur tertulis (konvensional) dalam pertukaran informasi antarotoritas pajak.
“TEA hadir agar pengumpulan data dan informasi dapat dilakukan lebih cepat dan hasilnya lebih efektif dan berdayaguna,” katanya.
Dirjen Pajak, dalam beleid itu, berwenang untuk melaksanakan TEA secara resiprokal dengan pejabat yang berwenang di negara/yurisdiksi mitra. TEA yang dimaksud meliputi TEA ke luar negeri dan TEA di dalam negeri. Simak artikel ‘Proses DJP Kirim Tim Buat Cari Informasi ke Luar Negeri, Lihat di Sini’.
Selain itu, beberapa media nasional juga masih menyoroti nasib omnibus law perpajakan yang sudah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR. Sejumlah media menyoroti terkait waktu penyelesaian rancangan payung hukum yang menyediakan sejumlah relaksasi pajak tersebut.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Perpajakan Internasional DJP John Hutagaol mengatakan setidaknya terdapat tiga manfaat utama dari TEA. Pertama, DJP dapat memperoleh informasi yang lengkap terkait profil wajib pajak yang diminta datanya.
Kedua, TEA menjadi sarana kerja sama antarotoritas pajak pada masalah perpajakan yang berkaitan dengan wajib pajak/grup yang sama sehingga menghindari potensi duplikasi pemeriksaan. Ketiga, dengan TEA, proses mendapatkan informasi dan data yang lebih cepat.
“Potensi duplikasi pemeriksaan dapat diminimalisasi/dihindari, biaya wajib pajak dapat dikurangi, dan waktu dapat dihemat. Pada akhirnya, akan mengurangi beban wajib pajak serta memungkinkan adanya comprehensive review atas kegiatan wajib pajak,” paparnya. (Kontan/DDTCNews)
Managing Partner DDTC Darussalam berpendapat melalui TEA, DJP dimungkinkan untuk berinteraksi lebih intens dengan otoritas negara lain terkait profil kepatuhan wajib pajak tertentu walaupun sudah ada mekanisme pertukaran data pajak secara otomatis (automatic exchange of information/AEoI).
“AEoI sudah baik tapi akan lebih baik jika dioptimalkan dengan TEA,” ujar Darussalam sambil mengatakan bahwa beleid terkait TEA ini juga untuk memerangi offshore tax evasion maupun penghindaran pajak. (Kontan)
Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin mengatakan pembahasan rancangan omnibus law perpajakan merupakan ranah Kementerian Keuangan dengan Komisi XI. Penerapan wewenang pembahasan di DPR akan melewati beberapa mekanisme.
Mekanisme itu mulai dari penyampaian di Rapat Paripurna DPR, penyerahan ke Badan Musyawarah untuk pembahasan oleh pimpinan fraksi, hingga dilanjutkan ke Sekjen. Terkait Rapat Paripurna, Aziz mengatakan waktu yang paling dekat adalah di masa sidang ketiga yaitu akhir Maret—April. (Kontan)
Pemerintah daerah didorong untuk mengimplementasikan retribusi dan pajak secara elektronik untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Elektronifikasi juga dinilai mampu mencegah kebocoran yang selama ini terjadi karena semua data bisa terekam.
“Uji coba akan dilakukan untuk pajak pasar, retribusi parkir, pajak pariwisata, pajak kendaraan bermotor, serta pajak bumi dan bangunan,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir. (Kompas/DDTCNews)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan mengkaji pemberian insentif pajak atau subsidi untuk pelaku usaha pariwisata, seperti pada usaha perhotelan dan industri penerbangan, yang merugi karena virus corona.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan Sri Mulyani untuk menyiapkan berbagai kebijakan sebagai penangkal dampak virus corona pada perekonomian nasional. Menurutnya, beberapa sektor sudah mulai terpengaruh oleh virus tersebut, termasuk pariwisata.
“Kajian mengenai berbagai insentif atau subsidi kepada penerbangan, terutama untuk domestik, di dalam rangka untuk terus meningkatkan belanja dari masyarakat untuk menopang sektor pariwisata,” katanya. (The Jakarta Post/DDTCNews)
Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian DJP Angin Prayitno Aji mengatakan pembayaran pajak yang berhasil dikumpulkan dari kegiatan ekstensifikasi pada tahun lalau mencapai Rp28 triliun dengan 3 juta wajib pajak baru. (Bisnis Indonesia)
Presiden Joko Widodo akhirnya telah menandatangani Peraturan Presiden No. 18/2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2020-2024.
RPJMN itu juga memuat sejumlah target reformasi fiskal. Di bidang perpajakan misalnya, pemerintah menargetkan rasio perpajakan terhadap PDB mencapai 9,7-10,5% (2020), 10,1-10,7% (2021), 10,3-11,2% (2022), 10,5-11,7% (2023) dan 10,7-12,3% (2024).
Selain itu, Jokowi juga menargetkan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (core tax administration system) tuntas 100 persen pada 2023. Adapun, pendanaan reformasi fiskal untuk periode 2020-2024 itu ditaksir menembus Rp2,58 triliun. (DDTCNews) (kaw)