DAMPAK perubahan iklim makin nyata terasa. Suhu bumi meningkat, musim tak lagi menentu, hingga bencana hidrometeorologi seperti banjir serta kekeringan yang kerap terjadi.
Semua itu adalah konsekuensi dari aktivitas manusia yang bergantung pada energi fosil dan terus memproduksi emisi karbon. Salah satu solusi yang banyak dipakai negara-negara di dunia untuk mengerem dampak lingkungan yang terjadi adalah penerapan pajak karbon. Pajak karbon merupakan pungutan atas emisi gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer.
Pajak karbon memang bukan sekadar urusan fiskal. Ini adalah instrumen yang menghubungkan dua kepentingan sekaligus, yaitu menjaga penerimaan negara dan mengurangi emisi.
Di atas kertas, pajak karbon bisa memberikan double dividend: menghasilkan pendapatan sekaligus mendorong perubahan perilaku. Namun dalam praktiknya, banyak negara menghadapi dilema: bagaimana menyeimbangkan kepentingan ekonomi tanpa membuat industri kolaps atau masyarakat menjerit?
Indonesia sudah memulainya lewat UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang mengatur penerapan pajak karbon dengan tarif awal Rp30.000 per ton karbon dioksida. Lalu, ada Perpres 98/2021 yang mengatur penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Pertanyaannya, apakah implementasi kebijakan ini akan berjalan efektif?
Jika berkaca dari Jepang, jawaban atas pertanyaan di atas bisa jadi 'sulit'. Jepang sudah lebih dulu menerapkan pajak karbon sejak 2012, dengan tarif sekitar ¥289 per ton, setara Rp30.000-an juga. Tarifnya sama-sama rendah, sehingga memang tidak serta-merta menekan emisi secara drastis.
Namun, ada satu hal yang membuat Jepang tetap melangkah, yaitu kepastian penggunaan pajak yang terkumpul.
Di Negeri Sakura, penerimaan pajak karbon digunakan untuk mendanai riset energi terbarukan, efisiensi energi, dan teknologi ramah lingkungan. Artinya, meski tarifnya kecil, uang yang terkumpul diarahkan kembali untuk mempercepat transisi energi.
Itulah yang masih luput dari kebijakan pengenaan pajak karbon di Indonesia. Penerimaan pajak karbon di negara kita belum jelas benar akan digunakan untuk apa. Ketidakjelasan inilah yang membuat publik ragu, bahkan menganggap pajak karbon hanyalah cara baru pemerintah menambah beban.
Perbedaan lain terletak pada desain kebijakan. Jepang memilih cara sederhana, yaitu pajak karbon dipungut langsung melalui sistem pajak energi. Tidak banyak pengecualian, tidak rumit, dan mudah diawasi.
Bandingkan dengan Indonesia, yang menyiapkan 4 (empat) mekanisme, yaitu: cap-and-tax, perdagangan karbon, offset, hingga pembayaran berbasis hasil. Fleksibel memang, tetapi menjadi terlalu rumit untuk dijalankan. Di sinilah kritik muncul. Desain kebijakan kita terlalu kompleks, sulit dipahami, dan akhirnya berpotensi tidak efektif.
Padahal, kesederhanaan adalah kunci. Swedia misalnya, memulai pajak karbon sejak 1991 dengan tarif yang awalnya tidak terlalu tinggi, tetapi konsisten naik tiap tahun. Kini tarifnya mencapai lebih dari €100 per ton. Hasilnya, emisi berkurang signifikan tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi.
British Columbia juga sukses dengan model revenue neutral dimana setiap rupiah dari pajak karbon dikembalikan ke masyarakat lewat pemotongan pajak lain. Contoh-contoh ini membuktikan bahwa kunci keberhasilan bukan hanya tarif, tetapi juga kejelasan arah kebijakan.
Apa pelajaran yang bisa dipetik Indonesia dari negara-negara lain yang sukses menerapkan pajak karbon?
Pertama, sederhanakan mekanisme pungutannya.
Alih-alih menggunakan banyak skema yang membingungkan, pemerintah dapat memulai dengan memungut pajak karbon langsung melalui tagihan energi. Misalnya, biaya karbon dimasukkan ke dalam harga listrik PLN yang masih bergantung pada PLTU batu bara, atau ke dalam harga jual BBM.
Dengan cara ini, pajak dipungut otomatis tanpa birokrasi tambahan, seperti yang dilakukan Jepang lewat pajak energi mereka atau yang dilakukan British Columbia dengan memungutnya di titik konsumsi eceran (misalnya, di pompa bensin dan solar).
Kedua, pastikan penerimaan digunakan secara transparan untuk investasi hijau.
Penerimaan pajak karbon dapat dialokasikan kembali untuk investasi hijau. Misalnya, subsidi panel surya bagi rumah tangga dan UMKM, insentif kendaraan listrik, hingga bantuan industri untuk mengganti mesin boros energi dengan teknologi yang lebih efisien.
Investasi lainnya, bisa diarahkan ke transportasi publik murah dan aksesibel dengan memperbanyak bus listrik dan kereta komuter murah. Dengan demikian, masyarakat menengah ke bawah bisa menikmati ongkos transportasi rendah, sekaligus mengurangi penggunaan kendaraan pribadi berbahan bakar fosil.
Jika laporan penggunaan dipublikasikan setiap tahun, publik akan lebih percaya bahwa pajak karbon benar-benar kembali untuk rakyat dan lingkungan.
Ketiga, jangan terjebak pada tarif rendah permanen.
Indonesia perlu menyiapkan peta jalan kenaikan tarif yang konsisten. Tujuannya, agar dunia usaha bisa bersiap tanpa kaget, misalnya dari Rp30.000 per ton pada 2025, naik menjadi Rp45.000 per ton pada 2030.
Atas kenaikan besaran tarif tersebut juga sebelumnya perlu dilakukan kajian akademik dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Dengan kenaikan bertahap, pelaku usaha punya kepastian untuk menyesuaikan diri, sementara publik melihat adanya komitmen serius.
Swedia telah membuktikan bahwa konsistensi menaikkan tarif mampu menekan emisi hingga 25% tanpa menghentikan pertumbuhan ekonomi.
Keempat, kombinasikan dengan program perlindungan sosial.
Agar pajak karbon tidak bersifat regresif, pemerintah bisa menggunakan penerimaan pajak karbon untuk program perlindungan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi keluarga miskin. Misalnya, Rp10.000 per bulan dari setiap ton emisi yang dipajaki bisa didistribusikan ke rumah tangga 40% terbawah.
Skema ini mirip dengan model di British Columbia, yang memberikan Climate Action Tax Credit kepada rumah tangga berpenghasilan rendah.
Dengan desain yang tepat, pajak karbon bisa menjadi sumber penerimaan berkelanjutan tanpa mendistorsi ekonomi. Bahkan, justru bisa mendorong munculnya sektor-sektor baru seperti energi terbarukan, transportasi listrik dan teknologi hijau. Semua itu membuka lapangan kerja dan peluang investasi.
Jepang memang masih dikritik karena tarifnya rendah, tetapi setidaknya mereka berhasil menunjukkan arah yang baik, yaitu gunakan penerimaan untuk tujuan jelas, jangan rumitkan desain, dan dorong transformasi ekonomi secara bertahap.
Pajak karbon tidak seharusnya dilihat sebagai beban baru, melainkan sebagai instrumen untuk menata ulang arah pembangunan kita. Jika dirancang sederhana, jelas, dan berpihak pada masa depan, Indonesia bukan hanya mampu menjaga penerimaan negara, tetapi juga ikut mengurangi jejak emisi yang membebani generasi berikutnya.
Kini, tantangannya bukan lagi apakah kita butuh pajak karbon atau tidak. Melainkan, bagaimana membuatnya efektif dan mudah dijalankan. Untuk itu, pengalaman dari negara-negara lain memberi satu pesan penting: jangan bikin rumit, tetapi pastikan hasilnya benar-benar kembali untuk bumi dan rakyat.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.