DI tengah pergeseran arsitektur perpajakan global yang dipicu penerapan global minimum tax (GMT), Indonesia kini menghadapi tantangan dalam menarik investasi sebesar-besarnya tanpa mengorbankan basis penerimaan pajak nasional.
Penerapan GMT telah membatasi efektivitas beberapa skema insentif pajak di Indonesia, khususnya yang berbentuk pengurangan PPh (Fachrizal, 2024). Menurut OECD (2022), jenis insentif pajak yang relatif aman dari risiko GMT adalah Qualified Refundable Tax Credit (QRTC).
Inilah saatnya Indonesia mengarahkan insentif pajak dalam bentuk QRTC yang didesain strategis untuk menciptakan aktivitas ekonomi nyata, terutama melalui fungsi bernilai tambah seperti riset dan pengembangan (R&D). Tak hanya itu, QRTC juga perlu dirancang untuk mendorong penciptaan nilai (value creation) dalam konteks transfer pricing.
Nah, pengalaman Inggris dalam menerapkan Research and Development Expenditure Credit (RDEC) bisa menjadi rujukan berharga bagi Indonesia. Skema ini dirancang untuk meningkatkan belanja R&D sehingga pada gilirannya mendorong investasi dalam inovasi (HMRC, 2024).
RDEC telah diakui memenuhi kriteria QRTC sehingga kompatibel dengan aturan GMT. Selain itu, desain RDEC mendorong perusahaan benar-benar melakukan fungsi strategis seperti pengembangan teknologi dan pengelolaan kekayaan intelektual di dalam negeri. Hal ini memperkuat value creation melalui prinsip transfer pricing.
QRTC harus didesain untuk dapat mendorong perusahaan tidak hanya membelanjakan anggaran untuk R&D, tetapi juga membangun pusat inovasi dan fungsi penciptaan nilai di Indonesia. Penciptaan nilai bisnis erat kaitannya dengan fungsi dan substansi ekonomi (Haslehner, 2022).
OECD BEPS Action 8-10 menyiratkan bahwa value creation dari aset tak berwujud berada di lokasi di mana fungsi Development, Enhancement, Maintenance, Protection, dan Exploitation (DEMPE) dilakukan (Rupal, 2023).
Permasalahannya saat ini, sebagian besar entitas anak perusahaan multinasional di Indonesia memiliki fungsi, aset, dan risiko (FAR) yang terbatas. Misal, sebagai limited risk manufacturer atau limited risk distributor.
Akibatnya, alokasi profitabilitas di Indonesia dari keseluruhan rantai nilai perusahaan multinasional relatif minim sehingga kontribusi PPh Badan juga terbatas. Untuk itu, QRTC harus dirancang erat dengan aktivitas ekonomi nyata, khususnya pelaksanaan fungsi-fungsi bernilai tinggi dalam kategori DEMPE.
Terdapat beberapa gagasan dari penulis yang dapat dipertimbangkan pemerintah dalam mendesain QRTC. Pertama, desain QRTC harus mampu mendongkrak profil FAR entitas anak perusahaan multinasional di Indonesia.
Entitas lokal tidak boleh sekadar menjadi routine service provider atau cost center, tetapi naik kelas menjadi pemilik fungsi ekonomi strategis.
Dengan peningkatan profil FAR, Ditjen Pajak memiliki dasar kuat untuk menuntut alokasi laba lebih besar dalam perhitungan harga transfer sesuai dengan prinsip nilai tambah global.
Kemudian, dalam kaitannya dengan R&D, entitas juga harus menjalankan fungsi DEMPE, termasuk tanggung jawab manajerial, kontrol risiko, pengambilan keputusan strategis, serta penguasaan teknis atas proyek inovasi.
Kedua, skema QRTC perlu disertai persyaratan pelaporan yang terintegrasi dengan dokumentasi penentuan harga transfer (TP Doc) secara proporsional.
Dokumen tersebut setidaknya mencakup: penjelasan proyek R&D dan tujuannya; struktur organisasi dan pengambilan keputusan; analisis FAR yang diperbarui; dan indikator output seperti paten, prototipe, publikasi, atau kerja sama universitas.
Ketiga, pengawasan harus berbasis hasil (output) bahkan outcome. Verifikasi tidak cukup hanya pada pengeluaran, tetapi juga capaian nyata seperti pembentukan divisi riset, perekrutan tenaga ahli lokal, pembangunan fasilitas teknologi, hingga pendaftaran kekayaan intelektual di Indonesia.
Otoritas terkait seperti Kementerian Investasi dan Kementerian Keuangan dapat menetapkan indikator kinerja utama (KPI) dan mewajibkan pelaporan dampak tahunan.
Keempat, dalam hal terbentuknya kekayaan intelektual (intellectual property/IP) dari kegiatan R&D yang memperoleh fasilitas QRTC, pemerintah perlu mensyaratkan agar IP tersebut tidak dialihkan ke luar negeri dalam jangka waktu tertentu.
Misal, minimal 5 tahun sejak dikomersialisasikan atau terdaftar. Ketentuan batas waktu ini penting untuk memastikan nilai ekonomi inovasi tetap berkembang di Indonesia.
Kelima, untuk memberikan kepastian hukum (tax certainty) terkait dengan alokasi laba dari R&D yang difasilitasi QRTC, pemerintah perlu mendorong penggunaan skema Advance Pricing Agreement (APA).
Penggunaan skema APA tersebut krusial dalam konteks perusahaan multinasional mengingat transfer pricing atas aset tak berwujud kerap kali menjadi sumber sengketa internasional.
Apabila gagasan tersebut dilaksanakan, penulis meyakini skema QRTC untuk kegiatan R&D akan menjadi instrumen fiskal yang tak hanya menarik dalam jangka pendek, tetapi juga membangun kapasitas ekonomi dan fiskal jangka panjang bagi Indonesia.
Pada gilirannya, transfer pricing menjadi lebih adil, penerimaan pajak lebih kuat, dan posisi Indonesia sebagai pusat inovasi di kawasan makin diperhitungkan.
Bagi perusahaan, desain tersebut memberi manfaat pajak dengan risiko minimal dari GMT. Dengan demikian, QRTC juga mampu menjembatani kebutuhan fiskal negara dan kepastian usaha dalam satu kerangka insentif yang berkelanjutan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.