LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Antara Pembaruan NJOP dan Keadilan Pajak: Bijak Melihat Polemik PBB-P2

Redaksi DDTCNews
Kamis, 02 Oktober 2025 | 10.00 WIB
Antara Pembaruan NJOP dan Keadilan Pajak: Bijak Melihat Polemik PBB-P2
Naranggi Pramudya Soko,
Kota Tangerang Selatan, Banten

ISU soal pajak daerah mendadak ramai jadi obrolan. Wacana kenaikan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ternyata mampu menyulut penolakan massa. Unjuk rasa tergerak dan merembet ke daerah lainnya.

Kristiaji (2025) dalam artikel Memandang Polemik Optimalisasi PBB-P2 secara Jernih: Belajar dari Pati menyoroti kontroversi tersebut. Melalui pembaruan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), pemerintah daerah memang mengejar kenaikan pendapatan asli daerah (PAD).

NJOP sendiri merupakan basis pemajakan PBB-P2, yang mewakili nilai suatu tanah dan/atau bangunan. Dengan tarif yang sama, NJOP yang lebih besar tentunya menghasilkan PBB-P2 terutang yang lebih besar.

PBB-P2 merupakan pajak yang unik. Berbeda dengan pajak penghasilan, objek pajak PBB-P2 (tanah dan/atau bangunan) adalah benda berwujud yang tidak dapat dipindahkan atau sulit untuk disembunyikan.

Bird (2013) bahkan menyebut pajak properti seperti PBB-P2 sebagai bad tax. Alasannya, ketidakpopuleran pajak ini di mata masyarakat menjadikannya politically sensitive.

Karenanya, polemik seperti yang terjadi di Pati dan kabupaten/kota lainnya baru-baru ini bukanlah hal baru di level internasional. Kasus di Pati menunjukkan bahwa pendapat Bird memang relevan.

Lalu jika PBB-P2 adalah bad tax, kenapa kita masih memungut PBB-P2? Jenis pajak yang satu ini penting karena memberikan otonomi pendapatan dengan menyediakan sumber pendapatan yang stabil dan dapat diprediksi. Selain itu, PBB-P2 lebih tahan terhadap gejolak ekonomi.

PBB-P2 juga mencerminkan prinsip manfaat, yaitu mengaitkan secara langsung pajak yang dibayarkan dengan layanan publik yang diterima, sehingga memperkuat kontrak fiskal dan mendukung desentralisasi fiskal.

Pajak Properti dan Prinsip Keadilan

PBB-P2, seperti pajak properti di negara lain, didasarkan pada prinsip ability to pay. Wajib pajak yang memiliki aset yang lebih bernilai dianggap memiliki kekayaan (wealth) yang lebih besar untuk berkontribusi pada pembangunan daerah.

Catatannya, prinsip ini hanya dapat ditegakkan bila nilai objek pajak yang dikenakan (NJOP) mencerminkan nilai pasar.

Menurut Bird & Slack (2004), kegagalan memperbarui nilai NJOP sesuai nilai pasar menyebabkan distorsi ekonomi: objek dengan nilai pasar tinggi bisa membayar pajak yang relatif lebih rendah, sementara objek dengan nilai pasar lebih rendah bisa saja terbebani secara tidak proporsional.

Kondisi tersebut mangakibatkan ketidakadilan horizontal (wajib pajak dengan aset serupa diperlakukan berbeda) dan ketidakadilan vertikal (wajib pajak dengan kekayaan yang lebih besar justru berkontribusi lebih sedikit).

Contoh nyatanya dapat dilihat pada wilayah yang sedang berkembang pesat yang banyak terjadi di kota-kota mandiri. Daerah yang tadinya merupakan lahan pertanian, dalam waktu yang cukup singkat berubah menjadi perumahan mewah.

Tanpa adanya pembaruan NJOP, perkembangan nilai lahan ini tidak akan dapat tertangkap. Karenanya, perumahan mewah yang baru saja berkembang bisa saja membayar PBB-P2 yang rendah karena masih menggunakan NJOP lama sebagai lahan pertanian.

Pembaruan NJOP Bukan Sekadar Tambahan Penerimaan

Literatur internasional menyebut pembaruan NJOP sebagai jantung dari sistem pajak properti yang adil. Kelly (2013), dalam berbagai studi tentang pajak properti di berbagai negara termasuk Indonesia, menekankan bahwa menutup celah antara nilai pasar dan NJOP adalah langkah paling mendasar sebelum membicarakan tarif atau strategi pemungutan.

Tanpa basis nilai yang akurat, kebijakan lain hanya akan memperbesar ketidakadilan.

Jika NJOP dibiarkan stagnan terlalu lama, ketimpangan antarwajib pajak akan makin lebar. Makin lama NJOP dibiarkan stagnan, makin besar pula jarak dengan nilai pasar, sehingga resistensi masyarakat juga akan semakin besar.

Bayangkan jika ada suatu daerah yang belum melakukan pembaruan NJOP sejak menerima PBB-P2 dari pemerintah pusat pada tahun 2014, betapa besar lonjakan NJOP dan PBB-P2 yang terjadi apabila dilakukan pembaruan pada tahun 2025. Karena itulah, pembaruan NJOP penting untuk dilakukan secara holistik dan berkala.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari pembaruan NJOP mestinya adalah keadilan atau equity, dan bukan mendapatkan tambahan peneriman. Prichard (2015) menyampaikan ketika pajak dipungut dengan cara yang adil dan transparan, masyarakat akan terdorong untuk patuh dan menuntut layanan publik yang lebih baik, sehingga memperkuat kontrak fiskal antara pemerintah dan masyarakat.

Dalam konteks Pati, resistensi warga terhadap kenaikan PBB-P2 bisa dipahami bila mereka merasa beban pajaknya tidak sebanding dengan layanan publik yang diterima. Tetapi menghindari pembaruan NJOP justru akan makin mencederai aspek keadilan.

Warga dengan aset bernilai tinggi dapat menikmati subsidi tersembunyi karena membayar pajak lebih rendah daripada yang seharusnya. Hal ini berlawanan dengan prinsip keadilan yang seharusnya menjadi fondasi perpajakan daerah.

Mengelola Polemik Pembaruan NJOP

Polemik di Pati juga memberi pelajaran penting: pembaruan NJOP harus disertai dengan mekanisme perlindungan sosial dan komunikasi publik yang baik. Banyak negara menggunakan metode phase-in atau meberikan keringanan pajak untuk mengurangi shock akibat kenaikan pajak yang signifikan.

Misalnya, kenaikan NJOP dapat diberlakukan secara bertahap selama beberapa tahun, atau pemerintah memberi keringanan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Transparansi penilaian juga sangat krusial. Sistem penilaian berbasis data pasar yang transparan akan meningkatkan kepercayaan publik dan kepatuhan pajak. OECD (2021) menekankan bahwa tanpa transparansi, pembaruan NJOP akan selalu menimbulkan gejolak, sekalipun secara teknis benar.

Oleh karena itu, pemda perlu memikirkan bagaimana meningkatkan tranparansi NJOP dan pemberian insentif PBB-P2. Dalam hal ini pemda dapat berkaca dari ATR/BPN, yang membuka data Zona Nilai Tanah (ZNT) kepada publik.

Terakhir, pemda perlu menerapkan strategi edukasi dan komunikasi berbasis manfaat. Saat ini edukasi wajib pajak hanya berfokus pada bagaimana cara membayar pajak dan kapan pajak tersebut harus dibayar. Pemda perlu mengaitkan langsung penerimaan pajak daerah dengan penyediaan layanan public yang disediakan oleh pemerintah daerah.

Pemerintah Kota Freetown, Sierra Leone, telah membuktikan bahwa pemberian informasi mengenai layanan publik yang didanai dari pajak dapat secara signifikan meningkatkan kepatuhan pajak (ICTD, 2024). Strategi yang demikian memungkinkan masyarakat untuk dapat melihat hubungan langsung antara pajak yang dibayar dan layanan publik yang diterima yang pada akhirnya akan meningkatkan kepatuhan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.