RASIO PAJAK

Strategi Kerek Tax Ratio RI: Perlu Selesaikan Masalah Fundamental Dulu

Aurora K. M. Simanjuntak
Selasa, 26 Agustus 2025 | 13.01 WIB
Strategi Kerek Tax Ratio RI: Perlu Selesaikan Masalah Fundamental Dulu
<p>Founder DDTC Darussalam dalam <em>Webinar Nasional ISEI Seri 5: Meningkatkan Rasio Perpajakan di Tengah Tekanan Ekonomi</em>, Selasa (26/8/2025).</p>

JAKARTA, DDTCNews - Founder DDTC Darussalam menyodorkan 3 strategi besar untuk mengerek tax ratio Indonesia, baik tax ratio dalam arti sempit maupun luas. Strategi ini menjadi penting untuk dijalankan mengingat kinerja tax ratio Indonesia yang stagnan dalam satu dekade terakhir.

Apa saja strategi yang dimaksud? Pertama, menuntaskan 4 masalah fundamental pajak. Kedua, memetakan dan memperbaiki anomali struktur penerimaan pajak. Ketiga, menutup 5 titik kebocoran pajak.

"Apabila tiga aspek ini berhasil ditangani, maka tax ratio Indonesia akan meningkat," kata Darussalam dalam Webinar Nasional ISEI Seri 5: Meningkatkan Rasio Perpajakan di Tengah Tekanan Ekonomi, Selasa (26/8/2025).

Tuntaskan 4 Masalah Fundamental Pajak

Darussalam berangkat dengan strategi pertama, yakni menuntaskan 4 masalah fundamental pajak. Masalah-masalah mendasar dalam sistem perpajakan Indonesia ini memang mendesak untuk diatasi. Strategi ini, imbuh Darussalam, juga perlu dijalankan sebelum pemerintah mengeksekusi langkah kebijakan lainnya.

Keempat masalah fundamental pajak yang dimaksud Darussalam, adalah partisipasi publik yang belum optimal, edukasi pajak yang belum inklusif, narasi kebijakan yang masih minim, dan pengelolaan data yang menantang. Darussalam lantas membahasnya satu per satu.

Pertama, partisipasi publik belum optimal dalam proses pengambilan kebijakan pajak. Masyarakat perlu memahami kembali bahwa pajak merupakan kesepakatan bersama antara warga negara (diwakili oleh DPR) dan pemerintah. Idealnya, ujar Darussalam, publik diberikan ruang untuk berpartisipasi dan didengar suaranya.

"Andai kata suatu kebijakan sudah didukung oleh publik, insyaallah ke depannya kebijakan-kebijakan itu dapat diterima dan tidak akan terjadi resistensi atau penolakan yang dilakukan oleh masyarakat. DJP sudah mulai melakukan ini walaupun belum masif," katanya.

Kedua, edukasi pajak yang belum inklusif. Darussalam menyoroti tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menerbitkan sebuah kebijakan apabila masyarakat belum teredukasi dengan baik.

Menurutnya, mengedukasi masyarakat serta wajib pajak bukan hanya tugas pemerintah ataupun DJP, melainkan seluruh stakeholder, termasuk para praktisi dan akademisi.

"Edukasi pajak itu sangat penting, dan lagi-lagi bagaimana kebijakan pajak itu nanti bisa dimengerti oleh masyarakat sehingga mereka tahu kenapa harus bayar pajak, tujuan membayar pajak, dan apa saja yang didapatkan dari mereka membayar pajak," kata Founder DDTC tersebut.

Ketiga, narasi kebijakan pajak masih minim. Darussalam mengimbau pemerintah dan DJP sebaiknya memberikan narasi atau paparan mengenai kebijakan pajak secara kontinu. Publik tidak bisa menyerap dan memahami suatu kebijakan dengan baik jika hanya diberikan pemaparan sebelum atau sesudah kebijakan itu terbit.

Dia mencontohkan pemerintah berencana memberikan insentif pajak untuk mendorong perekonomian. Artinya, pemerintah rela tidak mengenakan pajak, padahal secara teori international best practice pemerintah berhak memungut pajak. Nah, fasilitas itu perlu diinformasikan secara tepat dan berulang supaya masyarakat lebih paham.

Keempat, tantangan pengelolaan, validitas, dan analisis serta pengumpulan data pajak. Darussalam berpandangan pemerintah bisa memanfaatkan data-data yang selama ini sudah dihimpun untuk menggenjot penerimaan pajak. Misalnya, data dari Tax Amnesty 2016 dan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

"Kalau 4 masalah fundamental ini sudah bisa kita benahi, partisipasi publik dan edukasi dibuka luas, setiap kebijakan dinarasikan, saya pikir kita akan lebih mudah ketika nanti kita bicara kebijakan-kebijakan yang lebih spesifik," ujar Darussalam.

Perbaiki Anomali Struktur Penerimaan Pajak

Strategi kedua yang perlu dijalankan pemerintah guna mengerek tax ratio adalah memetakan dan memperbaiki anomali struktur penerimaan pajak. Dia menerangkan hingga saat ini masih banyak sektor usaha yang penerimaan pajaknya minim, tetapi distribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) tinggi.

"Misalnya di industri konstruksi, penerimaan pajak kita 4,69%, sedangkan kontribusinya terhadap PDB sebesar 10,25%. Ini ada apa kira-kira? Mungkin ini berkaitan dengan pengenaan PPh final," tuturnya.

Tutup 5 Titik Kebocoran Pajak

Terakhir, Darussalam memaparkan strategi ketiga untuk meningkatkan tax ratio Indonesia, yakni menutup 5 titik kebocoran pajak. Dia memetakan 5 sumber kebocoran penerimaan pajak antara lain dari shadow economy atau kegiatan ekonomi yang tidak tercatat secara resmi, baik legal maupun ilegal.

Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah India dengan aktivitas shadow economy tertinggi, yakni sebesar 23,8% dari PDB. Disusul oleh Brazil, China, Meksiko, Turki dan Rusia.

"Ini jadi tantangan kita, bagaimana hal-hal yang sifatnya illegal bisa kita pajaki, tapi tidak dalam konteks kita melegalkan hal-hal yang memang illegal tersebut, contohnya seperti judi dan prostitusi. Tapi jangan sampai juga pajaknya tidak terambil," kata Founder DDTC.

Kemudian, kebocoran pajak juga bisa bersumber dari pengelakan pajak atau offshore tax evasion, base erosion and profit shifting (BEPS) atau praktik yang menggerus basis penerimaan pajak.

Berikutnya, kebocoran juga terjadi karena kompetisi pajak. Sebagai contoh, negara ikut berkompetisi dengan cara menggelontorkan berbagai fasilitas seperti insentif pajak, penurunan tarif pajak, guna menarik investasi.

Kemudian, kebocoran pajak juga bersumber dari adanya pajak terutang yang tidak dilaporkan dan dibayarkan ke negara. Darussalam menjelaskan, penyebabnya antara lain ketidakpatuhan, korupsi, kurangnya penegakan hukum hingga kelemahan administrasi.

"Ini lah yang menjadi problem terkait sistem perpajakan Indonesia yang menjadi tanggung jawab untuk bisa kita selesaikan, dan DJP tidak bisa bekerja sendirian. Jadi, yang kita minta adalah gunakan uang pajak dengan bijak, sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sehingga diharapkan kepatuhan sukarela akan terbentuk," tutup Darussalam. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.