JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah mencatat ada setidaknya 3 tantangan yang dihadapi dalam menerapkan compliance risk management (CRM) untuk pengawasan pajak di Indonesia.
Pelaksanaan CRM dinilai telah menawarkan berbagai keunggulan walaupun masih dihadapkan sejumlah tantangan. Tantangan ini antara lain kualitas data yang belum optimal, keterbatasan SDM, serta perlunya integrasi lintas fungsi.
"Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan penguatan infrastruktur data, pelatihan teknis bagi pegawai, serta tata kelola CRM yang kuat agar pelaksanaan strategi ini berjalan secara konsisten dan akuntabel," tulis pemerintah dalam Nota Keuangan RAPBN 2026, dikutip pada Selasa (26/8/2025).
Ditjen Pajak (DJP) mengembangkan CRM, yaitu sistem manajemen risiko yang bertujuan mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko ketidakpatuhan wajib pajak secara sistematis dan berkelanjutan.
Melalui CRM, DJP dapat memetakan wajib pajak ke dalam kategori risiko tinggi, menengah, atau rendah, dengan mempertimbangkan berbagai indikator seperti rekam jejak pelaporan pajak, transaksi bisnis, data pihak ketiga, dan perilaku kepatuhan historis. Dengan klasifikasi ini, strategi pengawasan dapat disesuaikan.
Dalam mendukung CRM, pemanfaatan teknologi informasi dan analisis data menjadi kunci utama. Pemerintah pun secara bertahap mengembangkan compliance risk engine, yakni sistem yang memanfaatkan data dari SPT, e-Faktur, e-Bupot, data perbankan, serta informasi ekspor-impor untuk mendeteksi kepatuhan sejak dini.
Melalui integrasi dengan coretax system dan analitik berbasis machine learning, potensi penyimpangan dapat dikenali bahkan sebelum pelanggaran terjadi.
"Dengan demikian, pengawasan dapat beralih dari pendekatan reaktif menjadi preventif, mengurangi risiko pajak sebelum berkembang menjadi pelanggaran yang merugikan negara," tulis pemerintah.
Dalam nota keuangan turut dijelaskan implementasi CRM yang optimal juga menuntut sinergi lintas unit. Fungsi intelijen, pemeriksaan, pengawasan, penyuluhan, dan penegakan hukum harus berkoordinasi erat untuk merancang dan melaksanakan intervensi yang sesuai.
Misal, hasil pemetaan risiko oleh fungsi intelijen dapat menjadi dasar bagi tim pengawasan untuk melakukan edukasi atau klarifikasi kepada wajib pajak. Sementara itu, hasil audit dapat dikembalikan sebagai masukan untuk penyempurnaan model risiko.
Meski demikian, keberhasilan CRM tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologi dan data. Sebab, intervensi harus dirancang secara proporsional dan berbasis pada pendekatan perilaku.
"Artinya, otoritas pajak perlu menyesuaikan metode penanganan dengan tingkat dan motif ketidakpatuhan," bunyi nota keuangan. (dik)