JAKARTA, DDTCNews - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian materiil terkait tarif PPN yang diajukan oleh pemohon dari beragam latar belakang, mulai dari ibu rumah tangga, mahasiswa, pekerja swasta, pelaku usaha mikro, hingga pengemudi ojek online.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengatakan norma dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, j serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) UU PPN tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon.
"Dengan demikian, dalil pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," kata Ridwan saat membacakan Putusan MK Nomor 11/PUU-XXIII/2025, Kamis (14/8/2025).
Menurut MK, fleksibilitas bagi pemerintah untuk mengubah tarif PPN menjadi paling kecil sebesar 5% dan paling tinggi sebesar 15% tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum mengingat perubahan tarif oleh pemerintah tersebut tetap memerlukan persetujuan dari DPR.
Artinya, perubahan tarif tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, tetapi harus dibahas bersama antara pemerintah dan DPR saat penyusunan RAPBN.
"Dengan demikian, keputusan perubahan tarif PPN tetap memiliki dasar hukum yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan," ujar Ridwan.
Dalil pemohon yang beranggapan bahwa Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, j serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) UU PPN telah menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan hidup yang layak untuk pendidikan, kesehatan, dan transportasi juga dianggap tidak terbukti.
Meski kini jasa pendidikan, kesehatan, dan transportasi tidak lagi dikategorikan sebagai jasa yang dikecualikan dari PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 4A UU PPN, jasa-jasa dimaksud kini menjadi jasa kena pajak (JKP) yang dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan Pasal 16B UU PPN.
Digesernya jasa pendidikan, kesehatan, dan transportasi dari Pasal 4A ke Pasal 16B bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada pemerintah guna mengenakan PPN atas jasa yang bersifat premium seperti jasa kesehatan medis VIP hingga layanan transportasi mewah.
Bila jasa pendidikan, kesehatan, dan transportasi tetap dikecualikan dari objek PPN melalui Pasal 4A, pemerintah tidak memiliki ruang untuk mengenakan PPN atas jasa premium.
"Barang dan jasa yang didalilkan para pemohon telah dikeluarkan dari Bab III Objek PPN karena diberikan fasilitas PPN, berupa pembebasan PPN. Dengan pengaturan demikian, masyarakat sebagai konsumen tidak mendapat pembebanan PPN atas transaksi penyerahan BKP dan JKP atau dapat juga diartikan memiliki kondisi yang sama dengan sebelum berlakunya UU HPP, namun yang membedakan adalah adanya kewajiban bagi pihak penjual yang telah dikukuhkan sebagai PKP untuk membuat faktur pajak atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN dibebaskan," kata Ridwan. (dik)