Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Peraturan Dirjen Pajak No. PER-11/PJ/2025 menambah jenis informasi harta yang harus dilaporkan oleh wajib pajak orang pribadi dalam SPT Tahunan. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Jumat (6/6/2025).
Wajib pajak orang pribadi kini dapat melaporkan harta dalam 7 tabel, yakni kas dan setara kas, piutang, investasi/sekuritas, harta bergerak, harta tidak bergerak, harta lainnya, dan ikhtisar harta.
"Yang dimaksud dengan harta merupakan akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Indonesia," bunyi Lampiran G PER-11/PJ/2025.
Tabel kas atau setara kas digunakan untuk melaporkan harta berupa uang tunai, tabungan di bank atau lembaga keuangan lainnya, depostio, uang elektronik, cek, commercial paper, serta setara kas lainnya.
Pada tabel tersebut, wajib pajak tidak hanya diminta melaporkan harta kas dan setara kasnya, tetapi juga nomor rekening, nama bank atau lembaga keuangan, lokasi harta, nama yang didaftarkan dalam rekening sebagai pemilik kas, dan lain-lain.
Selanjutnya, tabel piutang digunakan untuk melaporkan piutang usaha, piutang afiliasi, dan piutang lainnya. Pada tabel ini, wajib pajak perlu melaporkan lokasi penerima pinjaman, identitas penerima pinjaman, nilai piutang, tahun dimulainya piutang, hingga saldo piutang saat ini.
Kemudian, tabel investasi/sekuritas digunakan untuk melaporkan aset investasi seperti saham, obligasi, reksadana, instrumen derivatif, asuransi, unit link di asuransi, aset kripto, dan investasi lainnya.
Pada tabel tersebut, wajib pajak diminta untuk melaporkan negara lokasi investasi, nama dan NPWP institusi investasi, nomor akun investasi, harga dan tahun perolehan, hingga nilai aset investasi saat ini.
Selanjutnya, tabel harta bergerak dipakai untuk melaporkan aset-aset bergerak seperti sepeda motor, mobil, bus, kendaraan angkutan jalan, pesawat, kapal, dan lain sebagainya.
Pada tabel tersebut, wajib pajak perlu memerinci tipe, merk, dan model harta; nomor polisi atau nomor registrasi lainnya; jenis kepemilikan harta; tahun perolehan; harga perolehan; dan nilai harta bergerak saat ini.
Lebih lanjut, tabel harta tidak bergerak digunakan untuk melaporkan aset-aset seperti tanah kosong, tanah dan/atau bangunan untuk tempat tinggal, apartemen, tanah dan/atau bangunan untuk usaha, tanah dan/atau bangunan untuk disewakan, dan lain-lain.
Pada tabel tersebut, wajib pajak perlu menyampaikan informasi yang terperinci mengenai lokasi harta, ukuran tanah dan bangunan, sumber kepemilikan (warisan, hasil sendiri, utang, hibah, dan lain-lain), nomor sertifikat tanah atau bangunan, tahun perolehan, harga perolehan, serta nilai harta tidak bergerak saat ini.
Selanjutnya, tabel harta lainnya digunakan untuk melaporkan aset-aset lain seperti paten, royalti, merek dagang, non fungible token, emas batangan, emas perhiasan, permata, barang seni, barang antik, persediaan usaha, dan lain-lain.
Pada tabel tersebut, wajib pajak perlu mencantumkan tahun perolehan harta, bukti kepemilikan harta, informasi tambahan terkait harta, harga perolehan, dan nilai harta saat ini.
Terakhir, tabel ikhtisar harta digunakan untuk mengakumulasikan seluruh harga perolehan dan nilai harta saat ini yang sudah diperinci pada tabel-tabel sebelumnya.
Ketujuh tabel di atas dapat ditemukan oleh wajib pajak pada Lampiran 1 Bagian A (Harta pada Akhir Tahun Pajak) SPT Tahunan. Lampiran 1 Bagian A merupakan lampiran yang harus diisi oleh semua wajib pajak orang pribadi tanpa terkecuali.
Selain topik di atas, ada pula ulasan mengenai target pemerintah Indonesia bergabung dengan OECD. Lalu, ada juga bahasan terkait dengan insentif PPN, laporan ADB terbaru mengenai kebijakan pajak, dan lain sebagainya.
SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan kini tidak memiliki lampiran khusus untuk melakukan koreksi fiskal atas penghasilan neto komersial.
Merujuk pada Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, koreksi fiskal positif maupun negatif langsung dilakukan pada bagian laporan laba rugi dalam lampiran rekonsiliasi laporan keuangan, yakni Lampiran 3A-1 hingga 3A-3 pada SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi dan Lampiran 1A hingga 1L pada SPT Tahunan wajib pajak badan.
"Laporan laba rugi termasuk: penghasilan yang dikenakan PPh yang bersifat final; penghasilan yang tidak termasuk objek pajak; penyesuaian fiskal positif atas penghasilan dan biaya komersial; penyesuaian fiskal negatif atas penghasilan dan biaya komersial; penghasilan neto fiskal sebelum fasilitas pajak," bunyi Lampiran H PER-11/PJ/2025. (DDTCNews)
Pemerintah menargetkan bergabung sebagai negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2027.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia sudah memulai proses aksesi menjadi negara anggota OECD sejak 2023, dan sudah resmi menyerahkan Initial Memorandum kepada Sekretariat Jenderal OECD pada tahun ini.
"Indonesia menargetkan waktu [untuk diterima menjadi anggota penuh OECD] sekitar 4 tahun dan sekarang sudah berproses 1 tahun," katanya dalam Konferensi Pers Perkembangan Indonesia menuju Keanggotaan OECD pada Ministerial Council Meeting OECD. (DDTCNews)
Pemerintah resmi memberikan fasilitas PPN ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 6% atas tiket pesawat dalam negeri selama periode libur sekolah.
Merujuk pada Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 36/2025, PPN DTP diberikan kepada penerima jasa yang membeli tiket pesawat dengan periode penerbangan pada 5 Juni hingga 31 Juli 2025.
"PPN yang terutang atas penyerahan jasa angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung pemerintah untuk tahun anggaran 2025 sebesar 6% dari penggantian," bunyi Pasal 2 ayat (4) PMK 36/2025. (DDTCNews)
Wajib pajak bisa mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan pajak penghasilan (PPh) oleh pihak lain melalui laman Portal Wajib Pajak atau coretax system.
Peraturan Dirjen Pajak PER-8/PJ/2025 mengatur permohonan pembebasan pemotongan PPh berlaku untuk wajib pajak yang bisa membuktikan tidak akan terutang PPh karena beberapa alasan tertentu, serta wajib pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan PPh final.
"Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh dilakukan secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak," bunyi Pasal 72 ayat (1) PER-8/PJ/2025. (DDTCNews)
Dalam publikasi terbaru berjudul 'Personal Income Taxation in Asia and the Pacific: Future Directions', Asian Development Bank (ADB) menyebut kinerja PPh orang pribadi di negara berkembang di kawasan Asia-Pasifik masih lemah.
Dalam laporan yang dipublikasikan pada Maret 2025 tersebut, ADB memandang kinerja PPh orang pribadi perlu diperkuat melalui reformasi regulasi dan administrasi, edukasi wajib pajak, serta manajemen risiko kepatuhan.
"PPh orang pribadi memiliki potensi untuk membantu pemerintah di kawasan tersebut mencapai tujuan yang lebih luas seperti redistribusi pendapatan," bunyi laporan ADB. (DDTCNews)
DJP mempertegas ketentuan pengajuan angsuran pembayaran pajak penghasilan (PPh) final atas selisih lebih revaluasi aktiva tetap melalui Perdirjen Pajak No.PER-8/PJ/2025.
Merujuk Pasal 63 ayat (1) PER-8/PJ/2025, perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus PPh yang bersifat final dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran maksimal selama 12 bulan.
“Kondisi keuangan...yaitu perusahaan mengalami: a. kerugian komersial; dan b. kesulitan likuiditas, selama 2 (dua) tahun berturut-turut sebelum permohonan...disampaikan” bunyi penggalan Pasal 63 ayat (2) PER-8/PJ/2025. (DDTCNews)