Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Memasuki akhir Januari 2025, pemerintah kembali mengatur ulang ketentuan mengenai tata cara penghapusan piutang pajak. Hal ini diatur dalam PMK 117/2024. Topik mengenai penghapusan piutang pajak yang tak tertagih ini menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Kamis (30/1/2025).
PMK 117/2025 diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan penghapusan piutang pajak. Selain itu, beleid tersebut juga dirilis dalam rangka menyederhanakan pengaturan penghapusan piutang pajak.
Melalui PMK 117/2024, Kementerian Keuangan mengatur penghapusan piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP). Piutang pajak tersebut merupakan piutang yang tercantum dalam:
Piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi tersebut bisa dihapuskan sepanjang memenuhi di antara 4 ketentuan. Pertama, hak untuk melakukan penagihan pajak telah daluwarsa. Kedua, penanggung Pajak meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan.
Ketiga, penanggung pajak tidak dapat ditemukan dan tidak terdapat harta kekayaan yang dapat digunakan untuk membayar utang pajak. Keempat, hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Perlu diketahui, penghapusan piutang pajak tersebut merupakan kewenangan menteri keuangan. Namun, untuk saldo piutang pajak dalam 1 ketetapan sampai dengan Rp100 juta dapat dihapuskan oleh dirjen pajak atas nama menteri keuangan.
Selain informasi mengenai penghapusan piutang pajak yang tidak tertagih, ada beberapa bahasan lainnya yang diulas oleh media nasional pada hari ini. Di antaranya, APBN 2025 yang dikabarkan berada di bawah tekanan, ekonomi Indonesia yang tercatat naik peringkat di antara kancah global, hingga hal-hal yang bakal diteliti saat wajib pajak mengajukan pengembalian pendahuluan.
Kinerja selama 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menunjukkan sinyal bahwa ruang fiskal pemerintah sedang berada di bawah tekanan.
Ada 3 kebijakan fiskal yang disebut mengindikasikan adanya tekanan tersebut. Pertama, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%. Kedua, sejumlah stimulus fiskal dalam jumlah besar yang digelontorkan pemerintah. Ketiga, instruksi Presiden Prabowo agar pemerintahan pusat dan daerah menghemat anggaran secara signifikan.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Kementerian Keuangan Deni Surjantoro menyampaikan memang ada beberapa tujuan yang ingin disasar pemerintah melalui penghematan anggaran Rp306,7 triliun. Pada intinya, pemerintah ingin menjaga stabilitas perekonomian nasional di tengah tantangan domestik dan global. (Harian Kompas)
Indonesia kembali masuk dalam daftar 10 negara dengan nilai produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia. Indonesia berada di posisi ketujuh dunia, berdasarkan estimasi International Monetary Fund (IMF) pada Januari 2025. Peringkat ini naik dari posisi pada 2024, yakni di peringkat kedelapan dunia.
Peringkat ini mengacu pada PDB yang disesuaikan dengan paritas daya beli (PPP). Dengan posisi ketujuh dunia, nilai PDB Indonesia mencapai US$4,49 triliun. Indonesia berada di bawah Jerman tetapi di atas Brasil, Prancis, dan Inggris.
Berdasarkan laporan IMF, PDB Indonesia menunjukkan kenaikan yang cukup konsisten dalam 5 tahun terakhir. Pada 2019, PDB RI berada di angka US$3,27 triliun. Kemudian, angkanya sempat merosot pada 2020 menjadi US$3,22 triliun.
Pada 2021, Indonesia sempat turun peringkat ke posisi 10 dengan PDB US$3,53 triliun. Pada 2021, PDB RI tercatat US$3,98 dan 2022 senilai US$3,98 triliun. Kemudian, pada 2023, PDB Indonesia naik ke peringkat delapan dengan nilai US$4,33 triliun. (Kontan)
Pemerintah menerbitkan PMK 119/2024 yang mengatur kembali ketentuan pengajuan permohonan pengembalian pedahuluan. Selain kewajiban formal, terdapat beberapa hal lainnya yang akan diteliti oleh dirjen pajak terkait dengan pengajuan permohonan pengembalian pendahuluan oleh wajib pajak kriteria tertentu.
Merujuk pada Pasal 6 ayat (1) PMK 119/2024, permohonan pengembalian pendahuluan yang diajukan sejak wajib pajak ditetapkan sebagai wajib pajak kriteria tertentu berdasarkan ketentuan PMK 119/2024, diproses sesuai dengan ketentuan PMK 119/2024.
Atas permohonan pengembalian pendahuluan tersebut, dirjen pajak akan terlebih dahulu melakukan penelitian terkait dengan kewajiban formal meliputi 6 kriteria. Simak detailnya pada artikel 'Hal-Hal yang Bakal Diteliti saat WP Ajukan Pengembalian Pendahuluan'. (DDTCNews)
Kendati coretax sudah diterapkan, penyampaian SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2024 masih menggunakan saluran lama. Artinya, SPT Tahunan PPh tahun pajak 2024 di antaranya dapat dilaporkan melalui e-filing DJP Online.
Setidaknya terdapat 5 dokumen pendukung yang perlu disiapkan untuk melaporkan SPT Tahunan PPh via e-filing. Pertama, bukti pemotongan pajak. Terdapat beragam jenis bukti pemotongan pajak di antaranya Formulir 1721-A1 (untuk pegawai tetap swasta atau penerima pensiun berkala) dan 1721-A2 (untuk PNS anggota TNI, Polri, pejabat negara, atau pensiunannya), 1721-VI, dan 1721 VII.
Kedua, daftar penghasilan. Penghasilan ini di antaranya adalah dari penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan. Ketiga, daftar harta. Selain penghasilan, pengisian SPT Tahunan PPh juga membutuhkan daftar harta yang wajib pajak miliki. Keempat, daftar kewajiban/utang. Kelima, daftar tanggungan keluarga. (DDTCNews)
Kementerian Keuangan mendapatkan penugasan dari Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan besaran efisiensi anggaran belanja pada setiap kementerian dan lembaga (K/L).
Kementerian Keuangan akan meminta setiap K/L menyiapkan identifikasi rencana efisiensi belanja K/L. Hasil identifikasi disampaikan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Identifikasi rencana efisiensi menjadi landasan untuk pembintangan anggaran.
"Menyampaikan usulan revisi berupa pembintangan anggaran sesuai besaran efisiensi dalam Lampiran dan telah mendapat persetujuan mitra Komisi DPR kepada menteri keuangan c.q. dirjen anggaran paling lambat tanggal 14 Februari 2025," bunyi surat nomor S-37/MK.02/2025 yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan. (DDTCNews) (sap)