JAKARTA, DDTCNews – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) siap menyesuaikan regulasi atau kebijakan untuk mendukung program perpajakan Presiden Prabowo Subianto. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan utama media nasional pada hari ini, Rabu (13/11/2024).
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan presiden dalam Asta Cita berupaya meningkatkan pendapatan negara, baik dari pajak maupun bukan pajak, untuk mendukung program-program pemerintah yang dicanangkan.
"Berbagai macam program strategis seperti swasembada pangan, pengadaan perumahan, perluasan lapangan kerja. Tentu ini membutuhkan kebijakan perpajakan yang strategis yang nantinya juga akan disesuaikan dengan kebutuhan pada saat berjalannya pemerintahan," katanya.
Dengan implementasi kebijakan fiskal yang tepat, pemerintah diharapkan dapat mencegah kebocoran pendapatan negara di bidang SDA dan komoditas bahan mentah, serta menjalankan ekstensifikasi dan intensifikasi.
Selain itu, lanjut Nufransa, reformasi perpajakan juga dibutuhkan agar menjadi stimulan yang lebih baik bagi dunia usaha untuk meningkatkan daya saing dan investasi.
Saat ini, Kemenkeu tengah berfokus pada reformasi perpajakan yang lebih modern, digital, dan berbasis data. Hal itu antara lain diwujudkan melalui pengembangan coretax administration system yang bakal diterapkan pada awal 2025.
Menurut Nufransa, kehadiran coretax akan memberikan efisiensi dari sisi waktu dan tenaga dalam melakukan pekerjaan, baik dari sisi wajib pajak maupun petugas pajak.
Dengan efisiensi waktu dan tenaga ini, pegawai pajak juga dapat direalokasikan pada core business perpajakan, yaitu pengawasan pemeriksaan dan penegakan hukum perpajakan.
Namun, perbaikan sistem perpajakan tidak hanya tergantung pada kebijakan yang tepat dari pemerintah. Sebab, peningkatan kepatuhan pajak juga membutuhkan dukungan dari semua pemangku kepentingan, termasuk akuntan dan profesi keuangan lainnya.
Selain penyesuaian kebijakan perpajakan, ada pula ulasan mengenai interaksi tatap muka antara wajib pajak dan fiskus bakal berkurang karena coretax. Ada juga bahasan terkait dengan badan penerimaan negara, PMK 81/2024, PMK 80/2024, dan lain sebagainya.
Reformasi pajak masih diperlukan dalam rangka menyelesaikan persoalan fundamental dalam sistem pajak Indonesia.
Founder DDTC Darussalam mengatakan persoalan fundamental sistem pajak Indonesia tecermin pada tax ratio Indonesia yang masih lebih rendah ketimbang rata-rata 36 negara Asia. Selain itu, tax buoyancy yang konsisten di bawah 1 dari tahun ke tahun.
"Indonesia memiliki tax ratio yang relatif rendah, bahkan lebih rendah dari rata-rata 36 negara Asia. Ini yang seharusnya menjadi persoalan kita bersama. Kalau dibandingkan dengan negara OECD, makin jauh ketertinggalan kita," katanya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan)
Kemenkeu menerbitkan PMK 80/2024 yang mengatur tata cara pemberian fasilitas pajak dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri.
Beleid tersebut dirilis untuk memberikan kepastian hukum, kemudahan, dan kesederhanaan dalam pemberian fasilitas pajak atas pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri.
“...perlu mengatur tata cara pemberian fasilitas PPN atau PPN dan PPnBM dan PPh dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri yang selaras dengan perkembangan terkini,” bunyi pertimbangan PMK 80/2024. (DDTCNews)
Ditjen Pajak (DJP) menilai interaksi antara wajib pajak dan fiskus bakal makin minim seiring dengan implementasi coretax.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan kehadiran coretax akan menandai era baru sistem perpajakan di Indonesia. Nanti, pelayanan pajak juga akan lebih transparan, mudah, dan berkepastian hukum.
"Kita tidak perlu terlalu sering ketemu pegawai pajak karena semuanya sudah digital, lebih banyak online-nya daripada tatap mukanya," katanya. (DDTCNews)
Sesuai dengan PMK 81/2024, dirjen pajak dapat menerbitkan keputusan dalam bentuk elektronik dan dokumen elektronik.
Merujuk pada pasal 11 ayat (1), menteri, dirjen pajak, dan pejabat tertentu di lingkungan Ditjen Pajak (DJP) yang diberi kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat menerbitkan keputusan dalam bentuk elektronik dan dokumen elektronik.
“Keputusan … dan dokumen elektronik … berkekuatan hukum sama dengan keputusan dan dokumen dalam bentuk kertas,” bunyi penggalan Pasal 11 ayat (8) PMK 81/2024. (DDTCNews)
Guru Besar Ilmu Hukum Politik dan Pajak Unissula Edi Slamet menilai Presiden Prabowo Subianto tetap perlu membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) meski Kabinet Merah Putih telah ditetapkan dan berjalan.
Edi memandang pembentukan BPN diperlukan untuk memperkuat otoritas pajak di tengah tantangan yang makin kompleks. Menurutnya, pembentukan BPN juga dapat menjadi pintu untuk mencapai penerimaan negara yang ditargetkan Prabowo sebesar 23%.
"Penerimaan negara ini memerlukan perhatian secara khusus dan fokus karena lingkungan perpajakan mengalami pertumbuhan dan dinamika yang sangat luar biasa. Istilahnya tidak bisa disambi [oleh Kemenkeu]," katanya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)