Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) akan menyediakan buku besar wajib pajak dalam taxpayer portal. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (30/1/2024).
Dalam video yang diunggah di Youtube, DJP mengatakan menu buku besar wajib pajak akan memuat catatan transaksi untuk setiap wajib pajak, yaitu kewajiban dan hak perpajakan. Catatan tersebut disajikan dalam bentuk entri debit dan kredit.
“Dengan buku besar, wajib pajak dapat mengetahui kondisi terkini atas jumlah kewajiban atau utang pajak dan hak kelebihan pembayaran pajak secara transparan dan akuntabel,” demikian informasi yang disampaikan DJP.
Sisi kredit menggambarkan hak yang dimiliki wajib pajak. Hal yang dimaksud antara lain pencatatan atas pembayaran yang telah dilakukan, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) lebih bayar, dan penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) lebih bayar.
Sementara itu, sisi debit mencatat transaksi terkait dengan kewajiban pajak. Adapun catatan yang dimaksud seperti pelaporan SPT kurang bayar serta penerbitan produk hukum yang menyebabkan adanya kurang bayar.
DJP mengatakan taxpayer account nantinya bisa diakses melalui tpportal.intranet.pajak.go.id. Sebagai pengganti dari DJP Online, proses bisnis yang dimunculkan dalam taxpayer account merupakan bagian dari taxpayer account management (TAM).
Adapun TAM merupakan proses bisnis pengelolaan informasi perpajakan untuk tiap wajib pajak. TAM akan memberikan informasi profil, hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak, serta buku besar/riwayat transaksi yang dapat diakses wajib pajak kapa saja dan di mana saja.
TAM menampilkan data update dan komprehensif. Sistem akuntansi dalam TAM juga terintegrasi dalam sistem inti administrasi perpajakan (SIAP) atau coretax administration system (CTAS). Simak ‘Simak, Hal-Hal Baru saat Coretax Ditjen Pajak (DJP) Diterapkan 2024’.
Selain mengenai rencana penyediaan buku besar wajib pajak, ada pula ulasan terkait dengan bukti pemotongan PPh Pasal 21/26. Ada pula bahasan terkait dengan rencana pemberian insentif pajak penempatan DHE SDA pada instrumen moneter/keuangan tertentu.
Lewat video yang diunggah di Youtube, DJP memberi contoh pencatatan transaksi perpajakan dalam buku besar. Misalnya, setoran deposit pajak senilai Rp100 juta (payment cash-credit). Pelaporan SPT kurang bayar senilai Rp5 juta (return sheet normal-debit) menggunakan deposit.
Deposit untuk melunasi SPT kurang bayar dilaksanakan melalui mekanisme pemindahbukuan sehingga dicatat entri pemindahbukuan keluar (adjustment balance transfer-debit) Rp5 juta dan pemindahbukuan masuk (payment balance transfer-credit) sejumlah Rp5 juta.
Saldo akhir (balance) dari buku besar wajib pajak ini senilai Rp95 juta. Nilai itu berasal dari nilai sisa pada sisi kredit (credits left) deposit yang belum digunakan oleh wajib pajak. (DDTCNews)
Penyuluh Pajak Ahli Pratama DJP Imaduddin Zauki meminta pemotong pajak – dalam hal ini misalnya pihak Perusahaan – yang harus menyampaikan bupot PPh Pasal 21 bulanan untuk tidak khawatir. Pengunduhan (download) bupot bisa dilakukan sekaligus.
“Pemotong enggak usah khawatir harus menyerahkan bupot tiap bulan ke penerima penghasilan. Di aplikasi [e-bupot 21/26] ada menu untuk mengunduh sekaligus bukti potongnya. Tidak satu per satu. Dalam satu folder semua bukti potong ada,” katanya.
File bupot yang sudah diunduh tidak perlu dicetak. Pemotong pajak dapat langsung mengirimkan softcopy bupot. Pemotong pajak juga bisa menyediakan google drive yang dapat diakses untuk masing-masing pegawai. Simak ‘Pegawai Banyak? DJP Sebut Download Bupot PPh Pasal 21 Bisa Sekaligus’. (DDTCNews)
Rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait dengan perlakuan PPh atas penghasilan dari penempatan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) pada instrumen moneter/keuangan tertentu bakal terbit dalam waktu dekat.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan insentif PPh akan diberikan tidak hanya atas penghasilan dari penempatan DHE SDA pada deposito, tetapi juga instrumen moneter/keuangan lainnya.
"Harapannya bisa mendorong lagi [eksportir makin tertarik untuk menempatkan DHE SDA di dalam negeri]. Tahun 2023, kami melihatnya cukup positif, dan itu harapannya bisa membantu stabilitas makro kita ke depan," katanya. (DDTCNews)
DJP mengingatkan adanya kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 meskipun nihil. Penyuluh Pajak Ahli Pratama DJP Imaduddin Zauki mengatakan ketentuan tersebut sudah diatur dalam PER-2/PJ/2024. Kewajiban itu juga sejalan dengan kewajiban pembuatan bukti potong PPh Pasal 21/26.
“Selama ini kalau nihil enggak perlu lapor kecuali di masa akhir, contohnya di Desember yang tahunan. Dengan adanya PER-2/PJ/2024 untuk masa PPh Pasal 21/26 walaupun nihil, Kawan Pajak wajib melakukan pelaporan SPT-nya. Ini yang harus diingat,” ujarnya.
Imaduddin Zauki mengatakan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 tersebut dapat dilakukan dengan mudah melalui aplikasi e-bupot 21/26. Wajib pajak hanya perlu menggunakan kode verifikasi. Simak ‘Lapor SPT Masa di e-Bupot 21/26, DJP: Hanya Pakai Kode Verifikasi’. (DDTCNews)
Mulai 2025, semestinya tarif PPN akan naik lagi menjadi sebesar 12%. Kenaikan tarif itu sudah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPN s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada 29 Oktober 2021.
Namun, kenaikan tarif PPN menjadi sebesar 12% tersebut bisa saja ditunda bila ada intervensi dari pemerintah. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) UU PPN, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi sebesar 15%.
"Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%," bunyi ayat penjelas dari Pasal 7 ayat (3) UU PPN. (DDTCNews/Kontan)
Dengan implementasi CTAS, nantinya wajib pajak dapat melakukan pembayaran atas beberapa jenis, masa, dan ketetapan pajak secara sekaligus cukup dengan 1 kode billing. Fitur multi account billing ini nantinya akan menggantikan sistem saat ini, yakni single account billing.
Dalam single account billing, 1 kode billing hanya bisa digunakan untuk melakukan pembayaran atas 1 jenis, 1 masa, atau 1 ketetapan pajak saja. “Nantinya, wajib pajak tidak perlu lagi membuat kode billing atas setiap pajak yang terutang,” bunyi informasi yang diunggah DJP. (DDTCNews) (kaw)