Petani memeriksa stasiun penyedia listrik di area persawahan Desa Alatengae, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Rabu (10/1/2024). ANTARA FOTO/Hasrul Said/YU/aww.
JAKARTA, DDTCNews - Mencapai target rasio elektrifikasi 100% ternyata butuh modal tak sedikit. Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu mengungkapkan pemerintah membutuhkan anggaran Rp22,08 triliun hingga 2025 untuk mewujudkan rasio elektrifikasi 100%.Â
Hingga 2023, realisasi rasio elektrifikasi (RE) Indonesia mencapai 99,78%, sedangkan rasio desa berlistrik sebesar 99,83%. Meski terbilang sedikit lagi untuk mencapai 100%, tapi ternyata tidak mudah.Â
"Kami sudah hitung bersama PLN, kita sudah konsinyering 3 hari 3 malam untuk menghitung berapa sih kebutuhan anggaran untuk menyelesaikan 100% RE dalam 2 tahun ke depan, sampai 2025 ada Rp22,08 triliun," ujar Jisman dalam keterangannya, dikutip pada Jumat (19/1/2024).Â
Dari sekitar Rp22 triliun tersebut, tuturnya, pemerintah akan memanfaatkannya untuk 3 hal. Pertama, perluasan jaringan yang mencapai porsi 55,59%. Kedua, pembangunan pembangkit komunal dengan porsi 44,33%. Biasanya, pembangkit komunikasi menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) ditambah baterai serta Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) sebesar 1,3 MW.
"Kita akan lakukan perluasan jaringan nanti, tapi jika jaringan PLN masih jauh kita nanti upayakan menggunakan energi setempat pembangkit komunal untuk memperkuat menggunakan baterai," imbuh Jisman.
Ketiga, pemerintah akan menerapkan program dari Ditjen EBTKE, yaitu APDAL (Alat Penyalur Daya Listrik) dan SPEL (Stasiun Pengisian Energi Listrik) yang diperuntukkan di daerah yang sulit dijangkau dengan porsi 0,08%.
Lebih lanjut, Jisman mengatakan, dari jumlah RE yang mencapai 99,78% pada tahun 2023, sebanyak 98,32% listriknya berasal dari listrik PLN, dan 1,46% sisanya berlistrik non-PLN, seperti dari program-program Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE), maupun program dari Kementerian lain menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk di remote area.
"Namun, ke depan kita menginginkan supaya lebih sustain dan lebih andal ini kelistrikan di rumah tangga, termasuk di remote area itu, agar dilayani oleh PLN. Karena pelayanan PLN itu akan lebih baik daripada yang swakelola," ujar Jisman.
Selain itu, dengan menikmati jaringan listrik dari PLN, masyarakat yang tidak mampu khususnya yang berada di wilayah timur Indonesia juga bisa menikmati subsidi listrik yang sama dengan masyarakat lainnya serta menerima haknya sebagai warga negara. Sementara apabila menggunakan listrik yang berasal dari swakelola atau non-PLN, tidak ada subsidinya.
Adapun, hingga akhir Desember 2023, jumlah rumah tangga belum berlistrik diproyeksikan sebanyak 185.662 rumah tangga. Sementara sebanyak 140 desa belum dialiri listrik. Dari jumlah tersebut, 12 desa di antaranya berada di Provinsi Papua Barat Daya, 9 desa di Papua, 56 desa di Papua Pegunungan, 47 desa di Papua Tengah, dan 16 desa di Papua Selatan. (sap)