Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) memiliki kewenangan untuk memeriksa wajib pajak tanpa melalui permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (P2DK) terlebih dahulu. Topik ini cukup mendapat sorotan dari netizen dalam sepekan terakhir.
DJP bakal langsung memeriksa wajib pajak apabila data konkret yang memiliki daluwarsa penetapan sampai dengan 90 hari ditemukan mengindikasikan adanya kurang bayar.
Merujuk pada Surat Edaran Dirjen Pajak SE-9/PJ/2023, usulan pemeriksaan data konkret yang akan daluwarsa dalam waktu 90 hari tersebut dilakukan tanpa melalui P2DK.
"Untuk data konkret dengan daluwarsa penetapan hingga 90 hari kalender, usulan pemeriksaan data konkret tanpa melalui P2DK dengan menerbitkan nota dinas usulan pemeriksaan atas data konkret, bersamaan dengan persetujuan laporan hasil penelitian oleh kepala KPP," bunyi SE-9/PJ/2023.
Usulan pemeriksaan dituangkan dalam nota dinas pengusulan pemeriksaan oleh pegawai KPP yang melaksanakan fungsi pengawasan untuk disampaikan kepada kepala seksi pemeriksaan, penilaian, dan penagihan.
Berdasarkan nota dinas tersebut, kepala seksi menyusun nota dinas persetujuan pemeriksaan atas data konkret dan menyerahkannya kepada kepala KPP untuk disetujui.
Kepala KPP harus menyetujui dan menandatangani nota dinas persetujuan pemeriksaan atas data konkret sebagai dasar penerbitan nomor pengawasan pemeriksaan maksimal 2 hari kerja sejak usulan pemeriksaan atas data konkret tanpa melalui P2DK.
Selain pemberitaan tentang pemeriksaan data konkret, ada pula bahasan mengenai update penerimaan PPN dari produk digital PMSE, sorotan Komwasjak tentang diskresi yang dimiliki otoritas pajak, kebijakan perdagangan karbon dan pajak karbon, hingga realisasi investasi dan repatriasi peserta PPS.
Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak) menyoroti diskresi yang dimiliki oleh otoritas perpajakan di Indonesia.
Wakil Ketua Komwasjak Zainal Arifin Mochtar mengatakan diskresi seyogianya hanya diterapkan dalam kondisi-kondisi tertentu saja, yaitu dalam kondisi konkret atau untuk menghindari stagnasi pemerintahan.
"Harus diingat, tujuan diskresi hanya diambil demi manfaat dan kepentingan umum," katanya.
Menurut Zainal, mayoritas persoalan timbul akibat penyalahgunaan kewenangan berupa suap atau pemerasan. Menurutnya, persoalan tersebut terjadi karena adanya diskresi yang terbuka lebar.
DJP mencatat realisasi penerimaan PPN dari perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) mencapai Rp4,43 triliun hingga Agustus 2023.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan pelaku usaha PMSE yang ditunjuk sebagai pemungut PPN berjumlah 158 pelaku usaha. Angka ini sama dengan jumlah pemungut PPN PMSE pada Juli 2023.
"Jumlah pemungut PPN PMSE tidak bertambah dari bulan lalu karena selama bulan Agustus 2023 pemerintah belum melakukan penunjukan PMSE baru," katanya.
Pemerintah Indonesia akan menerapkan pajak karbon dan perdagangan karbon melalui bursa secara beriringan sehingga para pelaku usaha memiliki pilihan.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pelaku usaha dapat memilih untuk mengurangi emisi dengan cara membeli unit karbon di pasar karbon atau dengan cara membayar pajak karbon ke pemerintah.
"Pajak karbon itu kami jadikan satu instrumen supaya pasar karbonnya bisa jalan," katanya.
Suahasil menuturkan pajak karbon akan diterapkan pemerintah sejalan dengan peta jalan (roadmap) pasar karbon. Harapannya, langkah tersebut dapat mendukung upaya pemerintah dalam mengejar net zero emission.
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) mencatat realisasi cukai hasil tembakau senilai Rp126,8 triliun hingga Agustus 2023.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto mengatakan realisasi ini setara 54,53% dari target Rp232,5 triliun. Menurutnya, penerimaan CHT memang diestimasi tidak akan mencapai target pada akhir tahun.
"Potensi tidak tercapainya target penerimaan disebabkan oleh 3 hal yaitu adanya downtrading ke golongan 2, shifting konsumsi ke rokok elektrik, dan peredaran rokok ilegal," katanya.
DJP mengimbau wajib pajak peserta PPS yang berkomitmen untuk merepatriasi dan menginvestasikan harta bersih di dalam negeri untuk segera merealisasikannya paling lambat 30 September 2023.
Melalui Pengumuman No. PENG-2/PJ/PJ.09/2023, otoritas pajak mewanti-wanti wajib pajak peserta PPS untuk segera memenuhi komitmennya. Jika tidak, wajib pajak bersangkutan berpotensi menerima surat teguran dan harus membayar PPh final tambahan.
"Jika tidak memenuhi komitmen dapat diterbitkan surat teguran. Lalu, berdasarkan surat teguran itu, peserta PPS harus menyampaikan klarifikasi atau menyetorkan sendiri tambahan PPh yang bersifat final," tulis DJP.
Melalui Perpres 52/2023 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024, pemerintah menargetkan rasio perpajakan sebesar 10% - 10,2% atau di bawah target yang ditetapkan dalam RPJMN 2020-2024.
Berdasarkan RPJMN 2020-2024, rasio perpajakan pada tahun depan seharusnya sudah mencapai 10,7% hingga 12,3%.
"Pendapatan negara dan hibah ditargetkan mencapai 11,9-12,4% PDB, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar 10-10,2% PDB dan PNBP sebesar 1,9-2,2% PDB," tulis pemerintah dalam narasi RKP 2024. (sap)