Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews ā Otoritas pajak mewaspadai potensi lonjakan sengketa pajak terkaitĀ transfer pricing.Ā Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Jumat (20/9/2019).
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) John Hutagaol mengatakan digitalisasi telah memicu semakin cepatnya proses globalisasi. Hal tersebut telah meningkatkan volume dan nilai transaksi lintas yurisdiksi, baik dari sisi perdagangan, jasa, maupun investasi.
Sekitar 60% transaksi lintas yurisdiksi tersebut merupakan transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Dengan demikian, ada potensi peningkatan jumlah sengketa, terutama terkaitĀ transfer pricing.
āUntuk mencegah timbulnya sengketa pajak karenaĀ transfer pricing, Indonesia telah menerbitkan regulasi tentangĀ Advance Pricing AgreementĀ (APA),ā ujarnya.
Jika sudah masuk dalam konteks sengketa, penyelesaian bisa dilakukan melalui pengajuan keberatan dan banding (domestic remedies) atauĀ Mutual Agreement ProcedureĀ (MAP). John mengatakan kebijakan pajak terkaitĀ transfer pricingĀ di Indonesia sudah sesuai denganĀ international best practice.
DalamĀ The 2018 Mutual Agreement Procedure (MAP) StatisticsĀ yang OECD, terlihat bahwa kasus bar uterus meningkat. Dibandingkan dengan 2017, kasus transfer pricing naik hampir 20%. Sementara, kasus lain naik lebih dari 10%.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti tentang rencana pemerintah mengubah sistem pajak untuk penghasilan wajib pajak orang pribadi dariĀ world wideĀ menjadi teritorial. Pasalnya, pemerintah masih menggodok skema yang tepat terkait penggunaan sistem teritorial.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Perpajakan Internasional DJP John Hutagaol mengatakan pemerintah mendorong pelaku usaha untuk terbuka dalam menyusun dokumentasiĀ transfer pricingĀ (TP Doc). Di sisi lain, otoritas juga memberi ruang bagi pelaku usaha untuk mendapat keadilan jika sengketa muncul.
āPenyelesaian sengketa pajak di forum internasional yang lazim dikenal yaitu MAP dan arbitrase,ā ujarnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan pemerintah masih menggodok skema yang tepat terkait penggunaan sistem teritoral dalam pajak. Apalagi, negara-negara OECD juga tidak menerapkan sistem itu secara murni.
āKami sedang mematangkan konsep tersebut supaya tepat dan sesuai dengan kondisi Indonesia,ā katanya.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan memang tidak ada negara yang mengadopsi sistemĀ world wideĀ maupun teritorial secara murni. Mayoritas negara justru mengombinasikan keduanya.
Misalnya, setelah reformasi pajak 2017, Amerika Serikat (AS) dianggap telah beralih ke sistem teritorial. Padahal, AS hanya mengecualikan penghasilan dividien dari luar negeri. Di Prancis, meskipun mengadopsi sistem teritorial, penghasilan pasif dari luar negeri tetap dipajaki.
āArtinya, pemerintah punya spektrum desain sistem yang luas, tidak harus mengecualikan seluruh penghasilan dari luar,ā ujarnya.
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2019, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan permasalahan ketidakpatuhan instansi pemerintah dalam menjalankan aturan pengelolaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
BPK menemukan adanya pengelolaan PNBP pada 36 kementerian/lembaga (K/L) dengan nilai minimal Rp352,38 miliar dan US$78,07 juta yang belum sesuai dengan ketentuan. Selain itu, BPK menemukan permasalahan pada pengelolaan piutang pada 18 K/L.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18ā19 September 2019 memutuskan untuk memangkas BI 7-day Reverse Repo RateĀ (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,25%. Selain itu, suku bunga Deposit Facility dan Lending Facility juga turun 25 bps masing-masing menjadi 4,50% dan 6,00%.
āSebagai langkahĀ pre-emptiveĀ untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah kondisi ekonomi global yang melambat,ā demikian pernyataan BI. (kaw)