Dari kiri, Clive Crook dari Bloomberg, Menkeu Sri Mulyani, Managing Director Bank Sentral Singapura Ravi Menon, dan mantan Direktur Bank Sentral AS Janet Yellen. (Foto: Facebok Sri Mulyani)
JAKARTA, DDTCNews—Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan defisit transaksi berjalan yang terus mendera Indonesia sejak akhir 2011 bukanlah sebuah dosa, sepanjang defisit itu digunakan untuk impor barang-barang yang produktif.
Menkeu mengakui dalam beberapa tahun terakhir ini, Indonesia memang masih mengalami defisit transaksi berjalan. Impor lebih besar daripada ekspor. Namun, itu semua dapat dikompensasi oleh banyaknya arus modal ke Indonesia.
"Sehingga secara keseluruhan tetap terjadi surplus transaksi," katanya saat menjadi panelis dalam seminarManaging Financial Shock yang diselenggarakan di Singapura, Rabu (7/11/2018), seperti dilansir dalam akunFacebook-nya.
Selain Sri Mulyani, turut menjadi panelis dalam seminar tersebut adalah Managing Director Bank Sentral Singapura Ravi Menon dan mantan Direktur Bank Sentral AS Janet Yellen. Adapun bertindak sebagai moderator adalah Clive Crook dari Bloomberg.
Masalahnya, sambung Menkeu, pada 2018 ini defisit tersebut tidak bisa terkompensasi dikarenakan larinya arus modal dari Indonesia sebagai dampak normalisasi ekonomi global, yang antara lain dengan adanya kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat.
Akibatnya, terjadi perlemahan nilai tukar rupiah. Dengan kondisi pembiayaan keuangan yang semakin mahal dan pengetatan likuiditas ini, pemerintah akan lebih berhati-hati dalam menentukan prioritas proyek pembangunan.
Kehati-hatian itu tadi dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi dunia yang akan menuju pada kondisi normal yang baru. "Selain itu, pemerintah dan bank sentral mencoba meningkatkan pertumbuhan dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi," katanya.
Dengan cara tersebut, kebijakan fiskal digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Pemerintah fokus di investasi bidang infrastruktur dan sumber daya manusia, yang juga melibatkan swasta.
Namun, di tengah situasi tersebut, Indonesia kini telah memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) yang melampaui US$1 triliun, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,1%—5.3% dan laju inflasi yang stabil selama 4 tahun terakhir atau sekitar 3%.
“Sebagai hasilnya, tingkat kemiskinan Indonesia pun turun di bawah 10% [9,8%] dan gini ratio (tingkat kesenjangan kemiskinan) juga menurun,” ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.