Ilustrasi.
LONDON, DDTCNews – Asosiasi industri meminta Pemerintah Inggris untuk menunda rencana penerapan pajak minimum global sebesar 15% lantaran kebijakan tersebut dinilai dapat menambah beban perusahaan dari segi administrasi.
Menurut Confederation of British Industry (CBI), perusahaan multinasional tidak memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan perubahan kebijakan ini. Selain itu, OECD belum memberikan perincian aturan lebih lanjut mengenai persyaratan akuntansi, audit, dan pelaporan publik.
“Untuk bisnis yang terpengaruh, ini dapat memicu persyaratan akuntansi, audit, dan pelaporan publik yang tidak mungkin dipenuhi karena OECD belum menyelesaikan negosiasi kesepakatan,” kata CBI seperti dilansir ft.com, dikutip pada Minggu (4/12/2022).
Kanselir Jeremy Hunt sebelumnya mengonfirmasi akan mengimplementasikan tarif pajak minimum global 15% untuk semua anak perusahaan multinasional di Inggris. Kebijakan ini akan dimuat dalam RUU keuangan musim semi dan diberlakukan mulai akhir 2023.
Pemerintah memperkirakan kebijakan ini mampu meningkatkan penerimaan pajak hingga GBP2,3 miliar atau Rp43,38 triliun per tahun untuk Departemen Keuangan pada 2027-28. Namun, perkiraan tersebut masih tidak pasti.
Meresponi keputusan tersebut, CBI menjelaskan kebijakan tersebut akan menimbulkan tantangan berat bagi perusahaan multinasional berskala besar. Alasannya, mereka perlu mengumpulkan data dari semua anak perusahaan dan membuat penghitungan pajak baru.
CBI mengusulkan pemerintah baru menjalankan pajak minimum global apabila persyaratan akuntansi, audit, dan pelaporan publik sudah mendapatkan kejelasan. Kemudian, perusahaan multinasional juga diberikan waktu untuk mempelajari dan menyiapkan perubahan.
Selain Inggris, beberapa negara lainnya juga mempersiapkan rancangan undang-undang mengenai pajak minimum global. Beberapa negara tersebut antara lain Korea, Belanda dan Swiss. Terdapat juga 7 negara lainnya yang mulai melakukan konsultasi tentang aturan tersebut. (rig)