Ilustrasi. Perajin membuat boneka ondel-ondel berbahan dasar kok bekas, di Jagakarsa, Jakarta, Selasa (1/9/2020). Pemerintah melalui program Bangga Buatan Indonesia mengajak masyarakat membeli produk buatan dalam negeri seperti buatan pelaku UMKM untuk meningkatkan perekonomian Indonesia dengan mendorong konsumsi rumah tangga. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/hp.
JAKARTA, DDTCNews – Beralihnya sebagian perseroan terbatas (PT) menggunakan tarif PPh sesuai ketentuan umum – dari sebelumnya tarif PPh final PP 23/2018 – tidak langsung berdampak signifikan pada penerimaan negara 2021. Topik tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (9/9/2020).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan pada tahun depan, dampak dari pandemi Covid-19 diproyeksi masih ada. Hal ini berpengaruh pada profitabilitas wajib pajak badan, termasuk yang berbentuk PT.
Sebagai informasi, dalam ketentuan umum, PPh dengan tarif sebesar 22% akan dihitung terhadap penghasilan kena pajak, yaitu penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Sementara, tarif PPh final PP 23/2018 sebesar 0,5% dikenakan terhadap jumlah peredaran bruto (omzet).
“Kalau rugi malah tidak membayar pajak. Kami tidak melihat itu punya dampak signifikan terhadap penerimaan pajak,” kata Hestu.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 5 PP 23/2018, pengenaan PPh final berlaku paling lama 3 tahun untuk wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas (PT). Jika terdaftar pada tahun pajak 2018, pengenaan PPh final berlaku hingga akhir tahun pajak 2020.
Kemudian, pengenaan PPh final berlaku paling lama 4 tahun bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), atau firma. Jika terdaftar pada tahun pajak 2018, penggunaan tarif PPh final 0,5% berlaku hingga akhir tahun pajak 2021. Simak artikel ‘Pakai PPh Final UMKM Sejak Kapan? Jangan Lupa, Ada Batas Waktunya!’.
Selain mengenai peralihan penggunaan skema pengenaan PPh, ada pula bahasan mengenai penunjukan perusahaan sebagai pemungut PPN produk digital dari luar negeri dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Kali ini, ada wajib pajak dalam negeri yang juga ditunjuk.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan jumlah wajib pajak badan yang memanfaatkan skema PPh final sejak 2018 kurang dari 200.000 atau sekitar 31,8% dari jumlah wajib pajak badan yang telah melaporkan SPT tahunan 2019 hingga awal Mei tahun ini.
Meskipun sudah tidak menggunakan skema PPh final, wajib pajak badan masih bisa memanfaatkan fasilitas pengurangan tarif 50% sesuai dengan ketentuan Pasal 31E dari UU PPh. Syaratnya, wajib pajak badan dalam negeri ini memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar. (Kontan/DDTCNews)
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan adanya pembatasan masa pengenaan PPh final mendorong wajib pajak untuk ‘naik kelas’ dan menyelenggarakan pembukuan. Dengan beralih menggunakan skema PPh yang berlaku umum, ada jaminan dari sisi keadilan.
“Semisal, dalam keadaan rugi fiskal maka wajib pajak tidak perlu membayar pajak. Skema final tersebut yang notabene sederhana tapi kurang menjamin keadilan hanya bersifat temporer,” katanya.
Sebagai informasi, skema PPh final juga menjadi salah satu bahasan dalam buku baru terbitan DDTC berjudul Konsep dan Aplikasi Pajak Penghasilan. Simak artikel ‘PPh Final Bukan Jenis Pajak, Lalu Apa?’. (Kontan/DDTCNews)
Dirjen Pajak kembali menunjuk 12 perusahaan yang memenuhi kriteria sebagai pemungut PPN atas barang dan jasa digital yang dijual kepada pelanggan di Indonesia. Dengan demikian, secara total, jumlah pemungut PPN produk digital sudah sebanyak 28 perusahaan.
Adapun 12 perusahaan yang baru saja ditunjuk adalah LinkedIn Singapore Pte. Ltd.; McAfee Ireland Ltd.; Microsoft Ireland Operations Ltd.; Mojang AB; Novi Digital Entertainment Pte. Ltd.; dan PCCW Vuclip (Singapore) Pte. Ltd..
Selanjutnya, ada Skype Communications SARL; Twitter Asia Pacific Pte. Ltd.; Twitter International Company; Zoom Video Communications, Inc.; PT Jingdong Indonesia Pertama; dan PT Shopee International Indonesia.
“Khusus untuk marketplace yang merupakan wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemungut maka pemungutan PPN hanya dilakukan atas penjualan barang dan jasa digital oleh penjual luar negeri yang menjual melalui marketplace tersebut,” demikian pernyataan DJP. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Pemerintah akan merumuskan skema kompensasi untuk daerah yang berisiko mengalami tekanan fiskal akibat perubahan skema perizian dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Kompensasi yang akan diberikan kepada pemerintah daerah bisa berwujud dana perimbangan atau dalam bentuk transfer lainnya.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan pemerintah pusat telah menghitung dampak dari adanya Omnibus Law Cipta kerja terhadap pendapatan daerah. (Bisnis Indonesia)
DJP memperluas jangkauan uji coba penggunaan Kartu Indonesia Satu (Kartin1) untuk nasabah perbankan anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Sebelumnya, uji coba kartu multifungsi Kartin1 hanya untuk internal DJP.
“[Untuk uji coba Kartin1] sekarang sudah diperluas ke nasabah bank Himbara," kata Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi. Simak selengkapnya dalam artikel ‘Ditjen Pajak Perluas Uji Coba Kartin1 untuk Nasabah Bank Himbara’. (DDTCNews)
Kepala Seksi Pengurangan dan Keberatan II Direktorat Keberatan dan Banding DJP Wisnhu Prabowo mengatakan aplikasi e-Objection belum mengakomodasi seluruh proses bisnis dalam pengajuan keberatan oleh wajib pajak.
Dia mengatakan e-Objection belum mencakup tiga kegiatan pengajuan keberatan. Pertama, pengajuan keberatan atas pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Kedua, pengajuan keberatan oleh kuasa wajib pajak. Ketiga, pengajuan keberatan yang melewati jangka waktu karena keadaan di luar kekuasaan wajib pajak (force majeur). (DDTCNews)
Dalam Buku II Nota Keuangan Beserta Rancangan APBN Tahun Anggaran 2021, pemerintah menyampaikan struktur penerimaan pajak Indonesia masih belum berimbang dan didominasi oleh penerimaan pajak yang dibayar oleh wajib pajak badan.
“Hal ini berdampak pada kerentanan terhadap penerimaan pajak, khususnya dalam kondisi keuangan korporasi berpotensi mengalami tekanan berat,” demikian pernyataan pemerintah. Simak pula artikel ‘Pemerintah Sebut 6 Faktor Ini Bisa Persulit Pencapaian Target Pajak. (DDTCNews) (kaw)