Ilustrasi. (Kemenkeu)Â
JAKARTA, DDTCNews – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menegaskan pemerintah akan terus menjaga utang pada 2022 berada dalam batas yang manageable. Pemerintah juga akan mengelola utang secara hati-hati dan makin efisien.
Febrio mengatakan perkembangan pembiayaan utang mengalami peningkatan signifikan sejak 2020 sebagai dampak pandemi Covid-19. Dengan demikian, defisit APBN harus diperlebar hingga 6,09% terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, pemerintah akan mengembalikan defisit APBN ke bawah 3% PDB seperti amanat UU 2/2020.
"Ke depan, kami harus terus mengendalikan utang secara fleksibel dan penuh kehati-hatian," katanya dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR, Selasa (15/6/2021).
Febrio mengatakan pandemi Covid-19 menyebabkan rasio utang melonjak dari 30,2% terhadap PDB pada 2019 menjadi 39,4% PDB pada 2020. Tahun ini, rasio utang diprediksi mencapai 41,1% PDB. Adapun pada tahun depan, rasio utang akan dijaga sekitar 43,76%-44,28% terhadap PDB.
Pemerintah juga akan terus meningkatkan efisiensi dari biaya utang, mendorong pendalaman pasar, memperluas basis investor, serta mendorong penerbitan obligasi atau sukuk daerah. Secara bersamaan, pemerintah akan menggunakan utang sebagai instrumen menjaga keseimbangan melalui komposisi portofolio utang yang optimal untuk menjaga stabilitas makroekonomi.
Febrio menyebut saat ini pemerintah tengah berupaya melakukan reformasi dan konsolidasi fiskal untuk mengembalikan defisit ke bawah 3% pada 2023. Upaya tersebut mencakup 3 bidang, yakni pendapatan, belanja, serta pembiayaan.
Dari sisi optimalisasi pendapatan negara, langkah yang dilakukan antara lain melalui inovasi penggalian potensi pajak untuk meningkatkan tax ratio, memperluas basis perpajakan, serta memperbarui sistem perpajakan yang sejalan dengan struktur perekonomian.
Khusus pada poin perluasan basis perpajakan, opsi yang dipertimbangkan misalnya optimalisasi penerimaan pajak dari sektor e-commerce, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), serta pengenaan cukai pada kantong plastik.
Setelah itu, ada upaya optimalisasi pengelolaan aset dan inovasi layanan serta penguatan tata kelola dan kebijakan melalui implementasi peraturan pelaksanaan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dari sisi belanja, pemerintah akan menerapkan zero based budgeting dengan melakukan efisiensi belanja kebutuhan dasar, fokus hanya pada program prioritas, berorientasi pada hasil, serta berdaya tahan.
Kemudian, ada langkah transformasi subsidi menjadi bantuan sosial, efektivitas perlindungan sosial melalui akurasi data dan integrasi program, pengawasan dana transfer, serta mengoptimalkan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Adapun dari sisi pembiayaan, pemerintah akan menjadikan utang sebagai instrumen untuk countercyclical yang dikelola secara hati-hati dan berkelanjutan. Selain itu, ada upaya mendorong efektivitas pembiayaan investasi antara lain melalui pemberian suntikan modal kepada BUMN secara selektif.
Secara bersamaan, pemerintah akan menguatkan peran sovereign wealth fund (SWF) dan special mission vehicle (SMV) yang telah terbentuk, serta memperkuat manajemen kas untuk menjaga fiscal buffer yang andal dan efisien.
“Kita tetap bisa melihat konsolidasi fiskal dan pada waktu yang bersamaan perekonomian harus kita dorong untuk menghasilkan aktivitas ekonomi yang juga akan menghasilkan penerimaan pajak," ujar Febrio.
Pada 2022, pemerintah merancang defisit APBN senilai Rp808,2 triliun hingga Rp879,9 triliun atau antara 4,51%-4,85% terhadap PDB. Rencana defisit APBN tersebut lebih kecil ketimbang tahun ini yang ditargetkan 5,7% terhadap PDB.
Dengan estimasi defisit tersebut, penarikan utang pada 2022 diprediksi sebesar 4,81%-5,8% terhadap PDB. Adapun rasio utang pada 2020 diprediksi sebesar 43,76%-44,28% terhadap PDB, naik dari target tahun ini kurang lebih 41,05% terhadap PDB. (kaw)