REVISI UU KUP

Soal Pengurangan Pengecualian PPN, Ini Kata Pakar Pajak

Muhamad Wildan | Rabu, 07 Juli 2021 | 11:21 WIB
Soal Pengurangan Pengecualian PPN, Ini Kata Pakar Pajak

Managing Partner DDTC Darussalam memaparkan materi dalam webinar yang diselenggarakan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Rabu (7/7/2021).

JAKARTA, DDTCNews – Pakar memandang pengurangan pengecualian pajak pertambahan nilai (PPN), yang diusulkan masuk dalam revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), akan menciptakan sistem yang lebih adil.

Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan skema PPN dengan tarif tunggal yang dibarengi dengan banyak pengecualian seperti saat ini justru menciptakan sistem yang tidak adil. Pasalnya, pengecualian PPN juga lebih banyak dinikmati masyarakat berpenghasilan tinggi.

Berdasarkan pada studi yang dilakukan Keen (2013), secara agregat nilai konsumsi kelompok berpenghasilan tinggi akan lebih tinggi dari kelompok berpenghasilan rendah. Akibatnya, terdapat potensi adanya perlakuan PPN khusus justru akan 'bocor' dan dinikmati oleh kelompok berpenghasilan tinggi.

Baca Juga:
Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah Terhadap Mayoritas Negara Mitra

Selain itu, berdasarkan pada hasil riset atas 31 negara berkembang yang dipublikasikan World Bank, kebijakan berupa 0%, pengecualian, atau pembebasan justru akan membuat sifat regresif PPN relatif kian kuat dan kian tidak adil.

Pasalnya, fasilitas yang awalnya ditujukan bagi kelompok berpenghasilan rendah justru akan berpindah bagi kelompok menengah ke atas. Apalagi, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah cenderung mengkonsumsi barang pokok dari sektor informal yang notabene tidak memungut PPN. Kelompok masyarakat kaya memenuhi kebutuhan lebih banyak dari sektor formal.

"Kalau sektor formal dibebaskan dari PPN maka orang kaya yang justru menikmati. Dapat disimpulkan fasilitas PPN justru membuat sistem PPN makin tidak adil, orang kaya yang seharusnya membayar pajak malah tidak membayar pajak," ujar Darussalam dalam webinar yang diselenggarakan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Rabu (7/7/2021).

Baca Juga:
World Book Day, Ini 3 Ketentuan Fasilitas Perpajakan untuk Buku

Sesuai dengan fakta tersebut, sambungnya, sebaiknya PPN dikenakan atas barang dan jasa yang selama ini dikecualikan dari sistem PPN. Penerimaan pajak yang terkumpul dari pengenaan PPN tersebut nantinya dapat diredistribusikan kepada pihak yang membutuhkan.

Untuk menciptakan sistem PPN sebagai sistem pajak konsumsi yang utuh, lanjut Darussalam, Indonesia perlu mengurangi pengecualian-pengecualian PPN yang selama ini berkontribusi besar terhadap belanja perpajakan Indonesia.

Pada 2019, belanja pajak akibat pengecualian PPN tercatat mencapai Rp73 triliun atau 29% dari total belanja perpajakan senilai Rp257,2 triliun. Simak Infografis ‘Tren Belanja Perpajakan untuk Pengecualian PPN’.

Baca Juga:
Sengketa Koreksi DPP PPN atas Jasa Keagenan Kapal

“Pertanyaannya, itu dinikmati oleh siapa? Jangan-jangan bukan oleh yang seharusnya menikmati. Dengan hasil penelitian tadi, itu justru dinikmati oleh kelompok penghasilan mampu sehingga tidak tepat sasaran," ujar Darussalam.

Sesuai dengan tren perluasan basis pajak, pengecualian dan pembebasan perlu diberikan seminimal mungkin. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kontribusi penerimaan PPN, mengurangi tax expenditure, menjamin netralitas PPN, serta mewujudkan keadilan dalam sistem pajak.

Terkait dengan kebijakan PPN dan pajak lainnya, Anda bisa juga menyimak berbagai pandangan Darussalam dalam Perspektif pada tautan berikut ini. (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

08 Juli 2021 | 10:47 WIB

Semoga pemerintah dapat merumuskan kebijakan pengurangan pengecualian PPN ini dengan seadil-adilnya dengan tetap memperhatikan kondisi masyarakat yang memang layak untuk menerima fasilitas pengecualian PPN ini.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 24 April 2024 | 09:03 WIB KURS PAJAK 24 APRIL 2024 - 30 APRIL 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah Terhadap Mayoritas Negara Mitra

Selasa, 23 April 2024 | 16:00 WIB HARI BUKU SEDUNIA

World Book Day, Ini 3 Ketentuan Fasilitas Perpajakan untuk Buku

Senin, 22 April 2024 | 18:21 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Koreksi DPP PPN atas Jasa Keagenan Kapal

Senin, 22 April 2024 | 09:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Langganan Platform Streaming Film, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

BERITA PILIHAN
Rabu, 24 April 2024 | 18:50 WIB PERMENKOP UKM 2/2024

Koperasi Simpan Pinjam Modal Rp5 Miliar, Lapkeu Wajib Diaudit AP

Rabu, 24 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT Jasa Perhotelan di UU HKPD?

Rabu, 24 April 2024 | 17:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Awasi WP Grup, DJP Bakal Reorganisasi Kanwil LTO dan Kanwil Khusus

Rabu, 24 April 2024 | 17:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Urus NTPN Hilang? Ini Beberapa Solusi yang Bisa Dilakukan Wajib Pajak

Rabu, 24 April 2024 | 16:50 WIB PAJAK PENGHASILAN

DJP Sebut Tiap Perusahaan Bebas Susun Skema Pemberian THR dan Bonus

Rabu, 24 April 2024 | 16:45 WIB PENGADILAN PAJAK

Patuhi MK, Kemenkeu Bersiap Alihkan Pembinaan Pengadilan Pajak ke MA

Rabu, 24 April 2024 | 16:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

DJP Tegaskan Tak Ada Upaya ‘Ijon’ Lewat Skema TER PPh Pasal 21

Rabu, 24 April 2024 | 16:30 WIB KPP MADYA TANGERANG

Lokasi Usaha dan Administrasi Perpajakan WP Diteliti Gara-Gara Ini

Rabu, 24 April 2024 | 15:30 WIB KEPATUHAN PAJAK

DJP: 13,57 Juta WP Sudah Laporkan SPT Tahunan hingga 23 April 2024