RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Penentuan Ada atau Tidaknya Objek PPh Pasal 26 yang Terutang

DDTC Fiscal Research and Advisory
Kamis, 30 September 2021 | 15.45 WIB
Sengketa Penentuan Ada atau Tidaknya Objek PPh Pasal 26 yang Terutang

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai penentuan ada atau tidaknya objek pajak penghasilan (PPh) Pasal 26 yang terutang. Perlu dipahami wajib pajak merupakan wajib pajak dalam negeri (WPDN) yang melakukan transaksi dengan perusahaan dari Thailand (PT X).

Otoritas pajak menyatakan pihaknya berhak memungut PPh Pasal 26 sebesar 20% atas pembayaran jasa pengembangan sistem teknologi infomasi yang dilakukan wajib pajak kepada PT X. Hal ini dikarenakan sumber penghasilan atas jasa itu berasal dari Indonesia.

Sebaliknya, wajib pajak berpendapat transaksinya tersebut tidak terutang PPh Pasal 26. Sebab, PT X merupakan wajib pajak yang berdomisili di Indonesia. Dengan kata lain, koreksi yang dilakukan otoritas pajak tersebut tidak dapat dibenarkan sehingga harus ditolak.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak seluruh permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Sementara di tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan wajib pajak.

Apabila tertarik untuk membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Kronologi

WAJIB Pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Berdasarkan pada fakta di persidangan, Mejelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan wajib pajak terbukti melakukan pembayaran atas jasa pengembangan sistem teknologi infomasi kepada PT X yang berkedudukan di Thailand. Terhadap pembayaran jasa tersebut seharusnya dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20%.

Selanjutnya, terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak permohonan banding wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 71257/PP/M.IIIA/13/2016 tertanggal 1 Juni 2016, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 28 September 2016.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi PPh Pasal 26 masa pajak Januari 2009 sampai dengan Desember 2009 senilai Rp206.836.266 yang dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK menyatakan tidak sepakat dengan koreksi Termohon PK dan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Perlu dipahami bahwa Pemohon PK telah menerima jasa dari PT X dalam pengembangan sistem teknologi infomasi (system support).

Adapun jasa pengembangan sistem teknologi informasi yang diberikan PT X tersebut meliputi install lock, pembelian hardware, dan pengembangan software. Terhadap pemberian jasa tersebut, Pemohon PK berkewajiban membayar imbalan jasa kepada PT X.

Menurut Pemohon PK, imbalan jasa yang dibayarkannya kepada PT X bukan merupakan objek PPh Pasal 26. Sebab, PT X merupakan wajib pajak yang berdomisili di Indonesia. Dengan kata lain, dalam transaksi yang dilakukan Pemohon PK dengan PT X tidak terdapat PPh Pasal 26 yang terutang. Koreksi yang dilakukan Termohon PK tersebut tidak dapat dibenarkan sehingga harus ditolak.

Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju dengan pernyataan Pemohon PK. Termohon PK melakukan koreksi PPh Pasal 26 karena berdasarkan pada hasil pemeriksaan dapat diketahui adanya pembayaran imbalan kepada wajib pajak luar negeri (WPLN).

Dalam hal ini, sumber penghasilan atas pembayaran tersebut berasal dari dari Thailand. Adapun domisili dari PT X tersebu dapat dibuktikan dengan certificate of resident yang dikeluarkan pihak berwenang di Thailand.

Menurut Termohon PK terhadap pembayaran jasa pengembangan sistem teknologi informasi tersebut seharusnya dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20%. Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, Termohon PK berkesimpulan koreksi yang dilakukannya sudah tepat dan dapat dipertahankan.

Pertimbangan Hakim

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK dapat dibenarkan. Dengan begitu, Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding tidak dapat dipertahankan. Terdapat dua pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi DPP PPh Pasal 26 masa pajak Januari sampai dengan Desember 2019 atas transaksi jasa pengembangan sistem teknologi infomasi senilai Rp206.836.266 tidak dapat dipertahankan.

Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan para pihak, pendapat Pemohon PK dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara a quo, Mahkamah Agung menilai koreksi yang dilakukan Termohon PK tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan fakta dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, alasan-alasan permohonan PK cukup berdasar dan Mahkamah Agung menyatakan mengabulkan permohonan PK. Dengan demikian, Termohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan harus membayar biaya perkara. Putusan PK ini diucapkan Hakim Ketua dalam sidang yang terbuka untuk umum pada 29 Agustus 2017. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.