RUU PPP

Revisi UU PPP Atur Soal Metode Omnibus Law, Ini Definisinya

Muhamad Wildan
Selasa, 08 Februari 2022 | 18.30 WIB
Revisi UU PPP Atur Soal Metode Omnibus Law, Ini Definisinya

Ilustrasi. Suasana rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (31/5/2021). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/rwa.

JAKARTA, DDTCNews - RUU Tentang Perubahan Kedua atas UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) yang disusun Baleg DPR turut mengatur tentang pembuatan UU dengan metode omnibus.

Definisi mengenai metode omnibus dimasukkan ke dalam Pasal 1 RUU tentang Perubahan Kedua atas UU PPP sebagai respons atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja bersifat cacat formil.

"Metode omnibus adalah metode penyusunan peraturan perundang-undangan dengan materi muatan baru, atau menambah materi muatan baru, mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan/atau mencabut peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu," bunyi definisi metode omnibus yang diusulkan Baleg dalam revisi UU PPP, Selasa (8/2/2022).

Selain menyelipkan definisi mengenai metode omnibus, revisi UU PPP juga mengusulkan bagian baru pada Bab IV UU PPP yang mengatur perencanaan peraturan perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus.

Baleg juga mengusulkan penambahan pasal baru, yaitu Pasal 42A yang akan mengatur tentang penggunaan metode omnibus dalam menyusun suatu rancangan peraturan perundangan-undangan yang harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan.

Rancangan revisi UU PPP juga mengusulkan pengaturan mengenai mekanisme perbaikan oleh Kementerian Sekretariat Negara apabila terdapat kesalahan ketik setelah RUU disetujui oleh DPR dan pemerintah.

Untuk diketahui, RUU yang merupakan revisi kedua atas UU PPP ini telah dibahas oleh Baleg DPR RI dan baru saja disetujui oleh DPR RI melalui rapat paripurna yang diselenggarakan hari ini, Selasa (8/2/2022).

Sebelumnya, MK menyebut UU Cipta Kerja bersifat inkonstitusional secara bersyarat. Dalam putusan MK, penyusunan UU Cipta Kerja yang merupakan omnibus law tidak berdasarkan pada metode yang pasti, baku, dan standar.

MK juga menemukan perubahan penulisan beberapa substansi setelah UU tersebut disetujui oleh DPR dan pemerintah. Dengan demikian, UU Cipta Kerja dinyatakan bertentangan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan cacat formil.

Dalam putusannya, MK mengamanatkan DPR dan pemerintah untuk memperbaiki pembentukan UU Cipta Kerja dalam waktu 2 tahun terhitung sejak putusan diucapkan. Apabila dalam 2 tahun tidak diperbaiki, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.