Gedung Mhkamah Konstitusi. (foto Antara)
JAKARTA, DDTCNews - Tujuh pemohon berlatar belakang ibu rumah tangga, mahasiswa, pekerja swasta, UMKM, hingga pengemudi ojek online mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap ketentuan PPN dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Mahkamah Konstitusi (MK), para pemohon menyatakan hendak menguji konstitusionalitas dari Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, j serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP.
Melalui UU HPP, pemerintah dan DPR sepakat menghapus barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, serta angkutan umum dari daftar barang dan jasa yang tidak dikenai PPN. UU HPP juga menaikkan tarif PPN pada Pasal 7 UU PPN secara bertahap dari 10% menjadi sebesar 12%.
“Kenaikan PPN menjadi 12% terhadap barang pokok yang dibutuhkan masyarakat telah menimbulkan lonjakan harga di tengah kondisi penghasilan yang stagnan, menurun, atau bahkan tidak ada sama sekali. Akibatnya, para pemohon terpaksa menurunkan kualitas barang kebutuhan pokok yang mereka konsumsi atau bahkan tidak dapat membeli barang dengan kualitas yang sama," kata kuasa hukum para pemohon Novia Sari, dikutip pada Rabu (12/3/2025).
Selain itu, kenaikan tarif PPN juga menimbulkan ketidakpastian hukum mengingat Kemenkeu telah menerbitkan peraturan menteri keuangan (PMK) tentang penghitungan PPN menggunakan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual.
Akibat PMK dimaksud, PPN dihitung menggunakan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual agar PPN seolah-olah tidak naik meski tarif PPN dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP resmi naik dari 11% ke 12% mulai 2025.
Dalam petitum, pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, j serta Pasal 7 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Selanjutnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 7 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai 'tarif PPN berdasarkan indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan'.
Pemohon juga meminta MK untuk menyatakan Pasal 7 ayat (4) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai 'perubahan tarif PPN diatur dengan undang-undang'.
Terakhir, pemohon juga meminta MK untuk menunda pemberlakuan Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, j serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) sampai dengan adanya putusan akhir.
Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta pemohon untuk memperbaiki permohonan dalam waktu maksimal 14 hari.
"Perbaikan permohonan bisa disampaikan kepada mahkamah melalui kepaniteraan, Senin, 24 Maret 2025. Saya ulangi, Senin, 24 Maret 2025 pada jam kerja di MK," kata Arif. (rig)