Kepala Kantor Wilayah DJP Riau Farid Bachtiar.
TERJADI mulai Maret 2020, pandemi Covid-19 telah memunculkan tantangan dalam upaya peningkatan penerimaan pajak. Optimalisasi pos terbesar dalam pendapatan negara ini ikut terhambat karena adanya pembatasan aktivitas langsung masyarakat.
Dilantik pada Maret 2020, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak (DJP) Riau Farid Bachtiar langsung menghadapi tantangan tersebut. Namun, strategi tetap dijalankan untuk mengakali risiko terkontraksinya penerimaan pajak setelah ekonomi lesu.
Sebagai pemimpin, Farid pun berpegang pada pentingnya meningkatkan produktivitas kerja petugas pajak dalam upaya peningkatan penerimaan. Baginya, peningkatan produktivitas sumber daya manusia (SDM) akan bergerak paralel dengan peningkatan penerimaan.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Farid Bachtiar. Dalam wawancara tersebut, dia menyampaikan siasat pengamanan penerimaan pajak yang sempat tertekan sepanjang 2020. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana kinerja penerimaan pajak Kanwil DJP Riau pada 2020?
Saya dilantik sebagai Kepala Kanwil DJP Riau itu Maret 2020 tetapi karena lockdown baru bisa ke sini pada Mei 2020. Karena semester I/2020 diawali [terjadinya pandemi] Covid-19 dan kondisi ekonomi menurun, Kanwil DJP Riau mengalami penurunan [penerimaan] dan secara keseluruhan negatif.
Pada akhir tahun itu [2020], walau sama-sama negatif, pertumbuhan di Sumatra ini masih relatif bagus dibandingkan nasional. [Realisasi penerimaan pajak] sekitar -7% [di Sumatra] sedangkan nasional -19%. Sumatra tertolong dengan komoditas sawit. Pada 2019 memang harganya [sawit] rendah tetapi menjelang semester II/2020 mulai membaik dan berlanjut sampai 2021.
Kondisi Covid-19 ini juga menurunkan produktivitas SDM kita hingga -40%. Produktivitas account representative (AR) dan pemeriksa dalam memproduksi STP (Surat Tagihan Pajak) dan SKP (Surat Ketetapan Pajak) itu menurun -40%.
Itu tentu dampaknya ke pertumbuhan penerimaan walau tidak meluncur drastis. Kita masih tertolong sawit sehingga minus [penerimaan pajak] kita itu tidak sedalam level nasional. Khusus di Sumatra, Riau itu termasuk paling tinggi [dengan capaian] -6% saja, sedangkan yang lain -7% hingga -8%. Jadi, itu sudah bagus.
Secara sektoral, Riau ini dominan sawit. Kalau Medan, di Kanwil DJP Sumut I, itu kan masih campur-campur, enggak cuma sawit. Kalau Riau ini mayoritas sawit makanya pertumbuhan minus -6% kemarin dan untuk Agustus sudah tumbuh 11%, sedangkan nasional baru kurang lebih 8%.
Sampai Agustus, capaian [penerimaan] kami sudah 61,8% dari target. Riauranking 7 atau 8 secara nasional dari sisi capaian menuju target. Target kita naik dari Rp14 triliun pada tahun lalu ke Rp16,4 triliun [pada 2021].
Seberapa besar peranan sektor kelapa sawit terhadap penerimaan pajak dan perekonomian?
Secara sektoral, ada sektor perdagangan, industri, dan perhutanan. Ketiga sektor itu memang dominan. Pertumbuhannya tinggi di sawit. Jadi, fokus kami mengawal tingkat kepatuhan dari wajib pajak sawit.
Alasannya, ternyata ini problemnya di sektor hulunya, terutama untuk level pedagang pengumpul. Itu tingkat kepatuhannya agak memprihatinkan. Ini menggejala di semua sektor sawit. Makanya, ada PMK 89/2020 [dengan ketentuan] salah satunya menurunkan tarif PPN di segmen ini jadi 1%.
Namun, fenomena pascakebijakan tersebut, kenaikan pajaknya masih tipis. Kami sudah ada kajian dampak PMK 89/2020. Ini sebenarnya bagian dari upaya kami [untuk] melihat masalah kepatuhan pada sektor wajib pajak sawit.
Sawit ini pengaruhnya besar. Kalau tidak dikawal, nantinya momentum kenaikan harga sawit itu tidak bisa kami dapatkan. Ini memengaruhi penerimaan kami. Jadi, memang kami benar-benar mengandalkan sektor sawit.
Saat ini, kami belum melihat ada penambahan wajib pajak yang awalnya di luar sistem mau masuk dan mendaftarkan diri ikut [ketentuan] PMK 89/2020. Sesungguhnya kan tujuannya untuk menarik orang ke sistem dan mempermudah administrasi.
Dibikin 1% ini biar menarik, tetapi mereka terbiasa enggak bayar pajak 10% maka ngapain juga 1%. Kalau asumsi kami ini [ketentuan] juga enggak bikin mereka tertarik. Hanya yang sudah masuk sistem yang merasa terbantu dengan [adanya] PMK 89/2020.
Berkaca dari performa tahun lalu, langkah apa yang dilakukan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak tahun ini?
Tahun lalu ada 4 KPP yang capaiannya 100% dari target. Secara total, tahun lalu itu [realisasi penerimaannya sebesar] 98% dari target. Sudah dekat 100%. Namun, restitusi masih tinggi karena banyak produk berorientasi ekspor. Jadi, kami mulai kawal manajemen restitusi sejak kuartal pertama.
Kami lihat siklus restitusinya selama 3 tahun terakhir. Siklusnya memang bengkak di kuartal I dan turun di kurtal IV. Kami cuma ikuti itu selama 3 tahun terakhir. Restitusi dan restitusi pendahuluan itu memakan resource pemeriksaan. Ini karena semua restitusi itu diperiksa.
Semua KPP, khususnya KPP Madya, kami alokasikan waktu ke arah pemeriksaan khusus. Jadi, kami dorong untuk memperbanyak pemeriksaan khusus karena banyak wajib pajak yang belum diperiksa dan ditemukan ada pelanggaran, termasuk menggunakan faktur fiktif.
Wajib pajak yang rutin diperiksa ini jarang terjadi, tetapi pemeriksaan restitusi harus dilakukan dan makan waktu serta tenaga. Akibatnya, waktu untuk pemeriksaan yang nonrestitusi agak berkurang. Kalau persentase, alokasi 80% untuk pemeriksaan rutin dan 20% untuk pemeriksaan khusus.
Padahal ketidakpatuhan banyak di 20% tadi, yang selama ini tidak kami periksa. Pemeriksaan khusus ini sudah kami upayakan. Namun, dengan prosedur SE-07/PJ/2020, kami enggak bisa langsung naik. Perlu analisis AR, SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan), closing LHP2DK (Laporan Hasil Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan). Itu nanti usulannya bisa pemeriksaaan, bukper, dan sebagainya.
Namun, keyakinan kami adalah kami harus knowing the unknown. Kami harus tahu yang undercover, shadow economy, dan underground. Namun, untuk menyentuh sektor informal, perlu pendekatan kebijakan.
Pada tahun lalu, kontribusi penerimaan pajak dari fungsi pemeriksaan dan penagihan secara nasional mencapai 3%-4%. Bagaimana kondisinya di Kanwil DJP Riau?
Secara umum, kami melaksanakan pengawasan atas pembayaran masa dan pengawasan kepatuhan materiel. Kami kawal yang 80% penerimaan dari pengawasan pembayaran masa serta 20% dari pemeriksaan kepatuhan materiel dan penagihan.
Pengalaman tahun lalu, porsi voluntary payment dan PKM itu 90% dibanding 10%. Jadi, 10% itu aktivitas kami lewat pengawasan kepatuhan materiel, 90% dari aktivitas wajib pajak. Tahun ini, kami dorong 15% yang pengawasan kepatuhan materiel. Pengawasan ini kami dorong untuk memperlebar audit coverage ratio di level pemeriksaan khusus.
Untuk penagihan, kami masih [memiliki] cukup banyak tunggakan. Tahun lalu, ada kebijakan pengurangan sanksi. Itu cukup efektif. Tahun kemarin, kami enggak berani melepas pegawai datang ke wajib pajak. Wajib pajaknya juga enggak menerima pegawai kita datang.
Daripada harus datang, akhirnya kami tawarkan pengurangan sanksi. Alhamdulillah, ada tambahan 1% atau Rp144 miliar dari sana. Jadi, penerimaan kami 98% dari target pada tahun lalu. itu salah satunya kontribusi program dari ini.
Untuk tahun ini, kami masih menimbang-nimbang dulu, melihat kondisi Covid-19. Semoga tidak ada gelombang 3 [penularan virus Corona]. Kalau perekonomian nasional dan Provinsi Riau positif tahun ini, rasa-rasanya kami tidak perlu memberikan program pengurangan sanksi itu lagi.
Tahun kemarin, program tersebut segmented ya. Itu hanya perusahaan yang terdampak Covid-19 sesuai dengan lampiran PMK insentif pajak bagi wajib pajak terdampak pandemi. Kami mengacu ke situ. Kami beri pengurangan sanksi untuk Jenis usaha yang terdampak Covid-19. Alhamdulillah, penagihan tunggakan itu mengalami kemajuan.
Apa kemajuannya?
Tunggakan yang selama ini di atas 1 tahun, banyak yang cair. Tunggakan yang tua-tua pada bermunculan dan dilunasi. Itu sebenarnya saya adopsi [dari langkah] ketika saya masih di Kanwil DJP Kalbar. [Saat itu] belum sempat berjalan karena saya pindah ke sini. Dengan cara ini, mereka datang mengajukan permohonan. Program tersebut diberikan cuma 2 bulan, November dan Desember.
SP2DK yang sudah kita terbitkan itu kurang lebih 20.000-an. Persentase penyelesaian memang terbilang rendah, tapi dibandingkan dengan 2020, sudah tumbuh positif. Kalau dibandingkan dengan pada 2019, masih belum karena Covid-19 dan macam-macam. Komunikasi melalui visit itu wajib pajaknya tidak bersedia karena Covid-19. Mau tidak mau, kami gunakan pengawasan tak langsung lewat pengawasan pembayaran masa.
Bagaimana upaya Kanwil DJP Riau dalam menjaga kepatuhan wajib pajak di Riau?
Untuk wajib pajak strategis, kami kirimi informasi pembayaran pajak atau IPP. Itu semacam notifikasi, kayak billing info-nya kartu kredit yang menginformasikan berapa yang harus dibayar. Ini tidak ada efek ke wajib pajak, hanya ngasih tahu.
Kami kirim surat kepada wajib pajak strategis bahwa bulan kemarin Anda sudah bayar sekian, SSP total sekian, dan kalau ada kurang jelas silakan hubungi AR. Dengan cara ini, kami menjaga eksistensi administrasi perpajakan agar tetap dirasakan kehadirannya oleh wajib pajak.
[Sebanyak] 30% assessment kami kan pemeriksaan. Takutnya, kami datang setiap ketemu wajib pajak itu dalam persepsi negatif karena pandangannya kalau enggak memeriksa, menagih, ya menyita. Persepsinya negatif.
Jadi, kita coba cover yang 70% tadi tanpa perlu menciptakan persepsi negatif. Makanya, kami kirim IPP. Itu sudah kami coba di 3 KPP Pratama tahun lalu. Pada tahun ini, seluruh KPP kami wajibkan mengirimkan IPP ke wajib pajak strategis.
Bagaimana upaya Kanwil DJP Riau dalam mendorong pelaksanaan pengawasan berbasis kewilayahan?
Kami andalkan analisis mandiri dari AR. Memang AR itu kompetensinya enggak setara. Ada masalah SDM. Namun, kalau AR yang produktif dan bersemangat tinggi itu mereka melakukan analisis mandiri. Itu koordinasi dengan teman-teman pemeriksa.
Melalui analisis mandiri, kami dapat case yang sangat bagus dari wajib pajak kewilayahan.Saya minta teman AR coba menuangkan ke dalam in house training (IHT). Jadi kami perbanyak IHT untuk berbagi pengalaman menemukan wajib pajak-wajib pajak yang underground dan cash economy.
Di P2Humas ada sosialisasi aktif di radio maupun podcast dan medsos. Khusus untuk wajib pajak bendahara, kami alokasikan AR tersendiri. Itu dominan di KPP Pratama Tampan.
Setahun sekali, kami lakukan kunjungan ke satker dominan seperti Dinas PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), Dinas Pendidikan, dan Dinas Kesehatan. Takutnya bendahara ganti orang karena mutasi dan sebagainya.
Untuk segmen di luar sawit, ada juga high wealth individual (HWI), sarang burung walet, dan wajib pajak transfer pricing buat teman-teman KPP Madya. Untuk yang transfer pricing, kami minta bimbingan ke teman-teman di pusat karena dampaknya bisa sampai ke keberatan dan banding.
Kami upayakan perbaikan pengetahuan teman-teman di pemeriksa. Ada AR terkait dengan transfer pricing. Untuk yang HWI, kami juga ada data dari pusat. Kami langsung follow up dan tindak lanjuti ke wajib pajak masing-masing. Selama ini, kami juga berkoordinasi dengan pemda.
Anda sangat berfokus pada produktivitas SDM. Seperti apa dampaknya terhadap kinerja?
Analisis sampai hari ini, saya lihat probabilitas untuk mencetak penerimaan [pajak] itu bersumber dari kuantitas interaksi. Makin banyak SP2DK maka akan menghasilkan jumlah LHP2DK yang lebih banyak. Makin banyak LHP2DK maka akan memberi peluang kami untuk memperoleh penerimaan.
Ini terbukti pada 2021, penerimaan uangnya meningkat. Produktivitas SDM yang meningkat akan paralel dengan penerimaan. Hal ini sepanjang produktivitasnya kita arahkan ke segman yang produktif tadi, seperti sawit. Jadi, kami dorong ke segmen strategis seperti sektor sawit karena pencairan dari sana tinggi. Makin banyak SP2DK dan LHP2DK maka probabilitas kami mencetak penerimaan ini meningkat.
Selama ini masih banyak wajib pajak yang takut saat menerima SP2DK. Apa pesan Anda kepada wajib pajak?
Selama ini, yang menjadi bahan ketakutan adalah administrasi dan pembukuan di wajib pajak. Banyak yang merasa tak siap dengan dokumen-dokumen. Padahal, SP2DK itu kebutuhannya kan cuma bisa dijelaskan dengan dokumen, selesai.
Pada masyarakat ini belum membudaya kebiasaan penyimpanan dokumentasi. Belum terbiasa pembukuan sederhana. Banyak SP2DK kami ke wajib pajak strategis yang sudah well educated dan rapi. Yang takut biasanya pegawainya karena masih baru.
Kita juga dominan closing LHP2DK tanpa pencairan karena yang kami tanyakan bisa dijelaskan oleh wajib pajak. Persentase closing tanpa pencairan itu lebih banyak daripada yang dengan pencairan. (sap)