Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Kontraksi penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan pada semester I/2021 lebih kecil dibandingkan dengan kinerja pada periode yang sama tahun lalu. Kinerja penerimaan pajak tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (9/7/2021).
Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan penerimaan PPh badan pada semester I/2021 tercatat minus 7,3%. Kontraksi itu lebih kecil dibandingkan dengan realisasi pada semester I/2020 yang tercatat minus 22,4%.
Yon mengatakan pada tahun lalu, ada fasilitas yang diberikan pemerintah dalam bentuk pengurangan angsuran PPh Pasal 25 dan pembebasan PPh Pasal 22 impor. Hal ini membantu cash flow perusahaan. Akibatnya, kredit pajak menjadi lebih kecil.
“Sehingga pada waktu mengisi SPT Tahunan tahun ini, jumlah pajak terutangnya masih ada,” ujar Yon.
Selain mengenai kinerja penerimaan pajak, masih ada pula bahasan mengenai revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Salah satunya masih terkait dengan rencana penerapan alternative minimum tax (AMT).
Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan pada tahun lalu, Sebagian perusahaan masih mengalami keuntungan. Karena ada pemanfaatan insentif pada tahun lalu, pembayaran pajaknya lebih kecil.
“Secara otomatis kemarin, pada bulan April, banyak mengakibatkan pembayaran kekurangan pajaknya cukup besar sehingga kontraksinya [penerimaan PPh badan] tidak sedalam tahun lalu,” imbuh Yon. (DDTCNews)
Pemerintah mencatat realisasi penerimaan pajak pada semester I/2021 senilai Rp557,77 triliun atau tumbuh 4,89% dari periode yang sama tahun lalu. Realisasi itu juga setara dengan 45,36% terhadap target Rp1.229,59 triliun.
Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan data penerimaan pajak tersebut terus menunjukkan tren perbaikan. Hingga Juni 2021, hanya PPh nonmigas yang masih minus sedangkan jenis pajak lainnya sudah mencatat pertumbuhan positif. Simak ‘Penerimaan Pajak 3 Sektor Usaha Tumbuh Positif, Apa Saja?’. (DDTCNews)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan wajib pajak yang mengaku mengalami kerugian fiskal bertahun-tahun tapi tetap bisa beroperasi dikarenakan adanya aggressive tax planning.
Merespons kondisi tersebut, pemerintah berencana menerapkan AMT atau PPh minimum. Dalam revisi UU KUP, pemerintah mengusulkan pengenaan pajak sebesar 1% dari penghasilan bruto terhadap wajib pajak badan yang melaporkan rugi atau yang memiliki PPh badan terutang kurang dari 1% dari penghasilannya.
“Dengan demikian walaupun wajib pajak mengalami kerugian fiskal secara bertahun-tahun akibat aggressive tax planning yang dilakukannya, AMT mampu memberikan jaminan adanya kontribusi minimum dari wajib pajak,” ujarnya. (Bisnis Indonesia/DDTCNews)
Rencana penerapan general anti-avoidance rule (GAAR) dan AMT dalam revisi UU KUP, perlu didukung dengan penerapan mandatory disclosure rule (MDR).
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan dengan adanya MDR, wajib pajak harus melaporkan skema perencanaan pajak yang mereka lakukan. Dengan demikian, DJP bisa menilai bisa diterima atau tidaknya skema tax planning wajib pajak.
Darussalam mengatakan GAAR bisa digunakan sebagai instrumen untuk menangkal praktik penghindaran pajak. Termasuk penghindaran pajak yang berpotensi muncul dari penerapan AMT. Simak ‘Kombinasi 3 Instrumen Ini Efektifkan Pencegahan Penghindaran Pajak’. (DDTCNews)
Mantan Dirjen Pajak Darmin Nasution menyarankan pemerintah dan DPR mengubah nama revisi UU KUP karena substansinya terlalu kompleks. Darmin mengatakan secara historis, UU KUP hanya mengatur tentang hukum acara perpajakan. Ruang lingkup untuk setiap jenis perpajakan diatur dalam UU terpisah.
"Saya rasa agar tidak ada kerancuan dalam UU Perpajakan, mungkin lebih baik kita sebutnya nanti UU Konsolidasi Perpajakan atau Harmonisasi Perpajakan," katanya. Simak ‘Saran Darmin Nasution, RUU KUP Diubah Jadi RUU Konsolidasi Perpajakan’. (DDTCNews)
Pemerintah akan tetap mengelompokkan beberapa jenis natura (fringe benefit) yang bukan objek PPh bagi penerimanya. Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan dengan rencana penerapan fringe benefit tax dalam revisi UU KUP, natura bisa dianggap menjadi biaya bagi perusahaan atau pemberi dan sebagai penghasilan bagi penerima.
“Namun, memang benar masih ada beberapa model fringe benefit yang coba dikecualikan. Bagi perusahaan tetap merupakan biaya. Namun demikian, di sisi penerimanya, [natura] bukan merupakan penghasilan,” ujar Suryo. (DDTCNews)
Big data, advanced analytics, artificial intelligence, dan robotics process automation adalah sederet kemajuan teknologi digital yang akan dimaanfatkan DJP melalui Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax system.
Pada 2024, saat implementasi sistem baru secara nasional dilakukan, DJP berharap masyarakat dapat menikmati layanan yang lebih mudah, andal, terintegrasi, akurat, dan pasti. Dengan demikian, beban kepatuhan wajib pajak diharapkan bisa tertekan.
“Dengan sistem yang terdigitalisasi, berbasis data, dan terintegrasi maka akan membantu kita melayani wajib pajak secara lebih personalized dan efektif,” ujar Dirjen Pajak Suryo Utomo. (DDTCNews) (kaw)