OPINI PAJAK

Optimalisasi ICT dalam Mendongkrak Penerimaan Pajak

Redaksi DDTCNews
Selasa, 12 Januari 2021 | 12.27 WIB
ddtc-loaderOptimalisasi ICT dalam Mendongkrak Penerimaan Pajak

Predi Sinaga,

mahasiswa STAN

TAHUN 2020 menjadi momen yang sangat berat bagi Indonesia. Pandemi Covid-19 menjadi monster perekonomian. Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal III/2020 terkontraksi -3,49% (yoy). Per 23 Desember 2020, penerimaan pajak baru 85,65% dari target APBN.

Namun, jauh sebelum pandemi, kinerja penerimaan sudah dapat dikatakan statis. Indikatornya antara lain tax ratio, rasio tingkat kepatuhan, dan kinerja pemeriksaan. Pada 2019, tax ratio Indonesia 10,9%, dan secara historis pernah menjadi yang terendah di Asia-Fasifik (news.ddtc.go.id).

Indikator tingkat kepatuhan juga masih tergolong rendah. Dapat dilihat dari jumlah penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) baik oleh orang pribadi atau badan. Pada 2019, tingkat kepatuhan pajak berada di angka 72,92% di bawah target APBN sebesar 80%.

Capaian kepatuhan ini masih rendah dari standar OECD yaitu 85%. Beberapa catatan oleh organisasi pajak internasional juga membuat pernyataan senada bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi atau penambahan jumlah wajib pajak.

Sementara itu, kinerja indikator lain yang tidak kalah penting adalah capaian pemeriksaan pajak. Pada akhir tahun 2019, rasio cakupan pemeriksaan (audit coverage ratio/ACR) Ditjen Pajak (DJP) hanya 1,58% dari total wajib pajak yang wajib lapor.

Capaian ini juga terkontraksi negatif dibandingkan kinerja ACR tahun 2018 yang mencapai 1,61% masih jauh dari standar internasional 3%-5% (news.ddtc.go.id). Dengan demikian, capaian yang diperoleh otoritas saat ini masih jauh dari kata berhasil. 

DJP telah melakukan berbagai digitalisasi pengadministrasian pajak, antara lain e-filing, e-reporting, e-bupot, e-billing, e-faktur, dan seterusnya. Kemudian juga Automatic Exchange of Information yang memungkinkan pertukaran data transaksi dan keuangan antarnegara yang terikat.

Alih-alih sudah melakukan perbaikan sistem perpajakan, kinerja penerimaan sangat lambat merespons kebijakan ini akibat masih banyak celah yang bisa dilakukan oleh wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak (tax evasion).

Rekomendasi Kebijakan
BERANGKAT dari sini, DJP sudah seharusnya melakukan pemanfaatan dan pengembangan information and communication technology (ICT) secara komprehensif. Ada beberapa rekomendasi kebijakan yang bisa menjadi opsi agar pemanfaatan ICT dapat mengoptimalkan penerimaan pajak.

Pertama, menggalakkan sosialisasi kepada wajib pajak secara khusus dan secara umum. Khususnya pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang menjadi penopang terbesar perekonomian. Kurangnya sosialisasi akan berdampak besar pada potensi penerimaan.

DJP dapat melakukan sosialisasi bersifat khusus seperti kelas pajak, kunjungan oleh fiskus ke wajib pajak, sosialisasi berkala. Sosialisasi secara umum dapat melalui publikasi di media sosial, melalui iklan layanan masyarakat, dan juga audiovisual.

Kedua, DJP sebagai otoritas pajak dapat menjalankan kerja sama dengan berbagai badan atau lembaga penting seperti perusahaan infrastruktur jaringan Internet, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), juga asosiasi usaha seperti Indonesian E-Commerce Assocation (idEA).

Dengan menggalang kerja sama dengan perusahaan infrastruktur jaringan Internet, permasalahan kekurangan atau kesulitan akses yang dihadapi oleh wajib pajak dapat teratasi sehingga tingkat kepatuhan akan semakin meningkat.

Selain itu, peningkatan infrastruktur jaringan Internet juga memudahkan DJP memperluas basis pajak khususnya ekstensifikasi subjek pajak. DJP dapat bekerja sama dengan Kominfo untuk melakukan integrasi data yang akan membantu DJP dalam melakukan validasi atas data data wajib pajak.

Hal ini akan membangun sistem perpajakan yang lebih teratur sehingga proses pemajakan tidak terhambat. Selain itu DJP juga dapat berkolaborasi dengan Kominfo untuk mendeteksi underground economy yang sulit untuk dideteksi.

Selanjutnya menjalin kerja sama dengan komunitas e-commerce. Tren pergeseran pelaku usaha konvensional ke digital membuat transaksi jual beli menjadi sulit diketahui. DJP dapat bekerja sama dengan idEA agar data jual beli platform e-commerce dapat diintegrasikan dengan sistem DJP.

Keuntungannya adalah mekanisme pemajakan akan lebih mudah dan proses ekstensifikasi dapat lebih sederhana karena pelaku e-commerce otomatis menjadi wajib pajak berdasarkan nilai transaksi yang terintegrasi dengan DJP.

Ketiga, memaksimalkan ICT untuk mengetahui pajak dari objek yang selama ini tidak terjamah oleh pajak (shadow economy). Beberapa di antaranya adalah perjudian online dan juga turnamen gaming yang diadakan secara online.

Maksimalisasi ICT dapat memberi kepastian kebijakan apa yang seharusnya diterapkan bagi industri atau jasa seperti ini. Menurut majalahpajak.net, tingkat shadow economy di Indonesia berada pada 8,3%-10%.

Data ini dapat menjadi ancaman karena banyaknya free rider atas fasilitas yang disediakan oleh negara tanpa membayar pajak. Di samping itu, juga sebagai peluang bahwa masih ada basis pajak yang berpotensi menambah penerimaan.

Terakhir, selama ini produk digitalisasi pajak masih dibangun secara terpisah. Karena itu, e-filing dan e-faktur harus diakses dari laman yang berbeda walaupun labuhan terakhirnya adalah website DJP. Terlihat tidak ada masalah jika produk digitalisasi ini jumlahnya hanya sedikit.

Namun, jumlah layanan digitalisasi administrasi pajak lumayan banyak. Karena itu, DJP perlu membangun sistem di mana seluruh produk digitalisasi dapat diakses dalam satu aplikasi. Selain memudahkan wajib pajak, sistem ini juga akan lebih menata administrasi dengan efisiensi lebih besar.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.