KEBIJAKAN PAJAK

Menyoal Konsep Bentuk Usaha Tetap untuk PPN

Redaksi DDTCNews | Jumat, 26 Juni 2020 | 18:03 WIB
Menyoal Konsep Bentuk Usaha Tetap untuk PPN

BENTUK Usaha Tetap (BUT) merupakan suatu konsep krusial untuk menentukan sejauh mana suatu yurisdiksi dapat mengenakan pajak kepada perusahaan yang bukan wajib pajak dalam negerinya. Konsep ini sangat erat kaitannya dengan pemajakan atas penghasilan tapi tidak terlalu lazim dibahas dalam kaitannya dengan pajak tidak langsung.

Padahal, banyak pula kasus pajak besar yang menyoal konsep alokasi hak pemajakan untuk PPN maupun pajak penjualan (PPn). Sebut saja kasus Welmory, Skandia, dan Le Crédit Lyonnai. Selain itu, baru-baru ini ada pula kasus perusahaan Wayfair dengan otoritas pajak Dakota Selatan yang penyelesaiannya bahkan harus dilakukan di tingkat Mahkamah Agung Amerika Serikat.

Untuk jenis pajak tidak langsung semacam ini, banyak pihak yang menyangsikan bahwa konsep BUT akan melonggarkan prinsip netralitas untuk PPN. Namun, pihak-pihak lain justru menyatakan bahwa aspek keadilan dan kepastian hukum akan lebih optimal melalui adanya penetapan suatu BUT untuk menegakkan prinsip netralitas PPN.

Baca Juga:
Inggris Beri Insentif PPN untuk Produk Rumah Tangga yang Disumbangkan

Persoalan mengenai alokasi hak pemajakan untuk PPN inilah yang kemudian diangkat oleh Karoline Spies dalam buku terbitan IBFD, “Permanent Establishments in Value Added Tax”. Ide-ide dalam buku ini kemudian ditekankan untuk membangun suatu model kebijakan BUT untuk PPN atas transaksi yang dilakukan antarperusahaan (B2B) dan bukan untuk transaksi perusahaan dengan konsumen (B2C).

Berbeda dengan B2C yang telah jelas ditanggung oleh konsumen akhir, pihak yang menanggung beban PPN dalam suatu transaksi B2B seringkali belum terlalu jelas. Apalagi, ketika transaksi B2B tersebut dilakukan lintas yurisdiksi dan melalui skema transaksi intragrup dalam perusahaan multinasional. Berangkat dari potensi permasalahan inilah, penulis menegaskan bahwa baik pemajakan berganda maupun ketiadaan pemajakan akan lebih rawan terjadi dalam transaksi B2B.

Pada bagian awal, akademisi dari Vienna University tersebut mencoba menyandingkan prinsip-prinsip alokasi hak pemajakan untuk PPN melalui konsep BUT dalam kerangka hukum internasional, yakni OECD VAT/GST Guidelines. Hal ini terutama yang berkaitan dengan konsep pemajakan atas transaksi yang tidak berwujud, seperti jasa ataupun produk yang mudah untuk dipindahtangankan.

Baca Juga:
Salah Input Kode Akun Pajak dan Sudah Pembayaran, Ini Saran DJP

Setelah melakukan pembahasan secara konseptual, implementasi kebijakan BUT atas PPN kemudian dibahas dengan mengangkat beberapa studi kasus. Tak ketinggalan, pembahasannya dilakukan dengan mempertimbangkan hierarki kebijakan PPN yang berlaku pada masa tersebut dan saat ini.

Selanjutnya, penulis menggagas empat kriteria untuk menjadikan adanya suatu BUT untuk PPN atas suatu transaksi B2B. Pertama, ketersediaan sumber daya manusia yang memastikan prosedur pengumpulan PPN efektif. Kedua, adanya sumber daya teknis yang memiliki wujud serta tidak mudah dipindahtangankan. Ketiga, penetapan jangka waktu berbasis transaksi yang memberikan dampak ex nunc. Keempat, kepastian atas pihak yang memiliki kendali atas usaha.

Keempat kriteria tersebut tidak lain ditujukan untuk memastikan bahwa semua perusahaan, baik yang merupakan WPDN maupun WPLN, yang memasok jasa ke konsumen dalam negeri akan mendapatkan perlakuan PPN yang sama.

Baca Juga:
Susun RKP, Ekonomi Ditarget Tumbuh 5,3 - 5,6 Persen pada Tahun Depan

Patut dicatat pula bahwa buku ini lebih banyak mengambil latar belakang kebijakan hukum untuk wilayah Uni Eropa. Oleh karena itu, terminologi “fixed establishment” lebih banyak digunakan ketimbang terminology “permanent establishment”. Selain itu, beberapa contoh studi kasus yang digunakan sudah tergolong “usang” pascaditerbitkannya OECD VAT/Guidelines edisi terbaru dan semakin terdigitalisasinya transaksi perdagangan internasional.

Meski demikian, buku yang dieditori oleh Michael Lang ini dapat kembali menjadi pengingat mengenai permasalahan pemajakan lintas yurisdiksi untuk PPN. Terlebih, banyak pula kasus alokasi hak pemajakan PPN yang belum memiliki keseragaman dan titik temu dalam berbagai putusan hakim meskipun terdapat konsep destination principle yang dapat dikatakan sebagai prinsip utama pengenaan PPN.

Tertarik untuk membahas konsep PPN tingkat lanjut dalam dunia perpajakan internasional? Silakan berkunjung ke DDTC Library.*


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN
Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

Jumat, 19 April 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jokowi Segera Bentuk Satgas Pemberantasan Judi Online

Jumat, 19 April 2024 | 16:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Jangan Diabaikan, Link Aktivasi Daftar NPWP Online Cuma Aktif 24 Jam

Jumat, 19 April 2024 | 15:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Kring Pajak Jelaskan Syarat Piutang Tak Tertagih yang Dapat Dibiayakan

Jumat, 19 April 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Persilakan WP Biayakan Natura Asal Penuhi 3M