LEBIH dari 100 tahun konsep permanent establishment (PE) atau bentuk usaha tetap (BUT) diakui keberadaannya dalam hukum pajak internasional. Konsep BUT ini pertama kali digunakan pada P3B Austria/Hungaria dan Prusia pada tahun 1899 (Betriebsstatten).
Konsep BUT memiliki peran yang penting terkait pemajakan atas laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas. Laba usaha hanya dapat dipajaki di negara domisili perusahaan tersebut, kecuali perusahaan tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan negara tempat laba usaha tersebut diperoleh.
Hubungan yang dimaksud terbentuk saat perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usahanya di negara sumber penghasilan melalui suatu BUT. Artinya, negara sumber penghasilan tidak dapat memajaki laba usaha yang diperoleh subjek pajak luar negeri, tanpa adanya BUT di negara sumber penghasilan.
Penjelasan mengenai pengertian BUT terdapat dalam Pasal 5 Ayat (1) OECD Model yang memiliki rumusan, yaitu sebagai berikut: “For the purpose of this Convention, the term ‘permanent establishment’ means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on.”
Pasal 5 ayat (1) di atas menyatakan bahwa BUT adalah suatu tempat usaha tetap, yang melalui tempat usaha tetap tersebut kegiatan usaha dari suatu perusahaan dijalankan secara sebagian atau secara keseluruhan. Pada umumnya, terdapat kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar dapat terbentuk suatu BUT (Khan, 2000), salah satunya adalah terkait dengan permanent test. Lantas apa yang dimaksud dengan permanent test ini?
Makna Permanent Test
Terkait dengan tempat usaha, istilah ‘permanen’ dapat diartikan dengan pengertia-pengertian sebagai berikut. Pertama, sebagai tempat usaha yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan yang sifatnya teratur dan bukan untuk kegiatan usaha yang sifatnya situasional (temporary).
Kedua, istilah permanen tidak harus diartikan sebagai kegiatan yang berlangsung terus menerus tanpa pernah berhenti (perpetual), tetapi harus diartikan sebagai kegiatan yang dimaksudkan untuk berlangsung secara terus menerus tanpa pernah diketahui kapan akan berhenti (indefinetely continuing).
Ketiga, dikaitkan dengan periode waktu dipergunakannya tempat usaha, istilah permanen dapat diartikan sebagai penggunaan tempat usaha dalam waktu yang lama. Jadi, tidak sekadar dipergunakan dalam jangka pendek.
Untuk menguji apakah suatu tempat usaha dipergunakan sebagai tempat yang permanen dan bersifat tetap (fixed), biasanya dilakukan dengan pendekatan ‘duration test’ dengan cara melakukan penghitungan berapa lama keberadaan tempat usaha tersebut.
Keberadaan tempat usaha sebagai BUT mulai dihitung pada saat tempat usaha tersebut dipersiapkan untuk menjalankan kegiatan usaha. Kegiatan persiapan (prepatory) atau penunjang (auxiliary) untuk pendirian tempat usaha dapat diperhitungkan sebagai keberadaan BUT, sepanjang kegiatan persiapan atau penunjang tersebut berhubungan dengan kegiatan usaha yang akan dijalankan melalui tempat usaha tersebut.
Penghentian sementara kegiatan usaha seperti karena cuaca tetap diperhitungkan sebagai keberadaan BUT. Suatu BUT dinyatakan tidak ada apabila tempat usaha tersebut (i) tidak dipergunakan lagi atau (ii) kegiatan usaha yang dijalankan tidak dilanjutkan lagi.
Berikut ini adalah beberapa contoh kasus yang pernah terjadi dalam melakukan pengujian tersebut di atas (Baker, 2012).
Lebih lanjut, dalam Diskusi Revisi Draf OECD 2012, para komentator dan praktisi memasukkan ‘minimum 6-month’ sebagai suatu bright line test, dengan rumusan sebagai berikut:
“Since the place of business must be fixed, it also follows that a permanent establishment can be deemed to exist only if the place of business has a certain degree of permanency, i.e. if it is not of a purely temporary nature... Whilst the practices followed by member countries have not been consistent in so far as time requirements are concerned, experience has shown that permanent establishments normally have not been considered to exist in situations where a business that as maintained for less than six months (conversely, practice shows that there were many cases where a permanent establishment has been considered to exist where the place of business was maintained for a period longer than six months.).”
Pada beberapa kasus, khususnya di Jerman, durasi minimum selama enam bulan merupakan persyaratan yang digunakan untuk menentukan tempat usaha sebagai suatu BUT. Dalam kasus Swiss Consultant, Pengadilan Administrasi Tinggi Austria memutus sengketa dari konsultan yang berasal dari Swiss, yang memberikan jasa terhadap kliennya yang berada di Austria selama sembilan bulan. Dalam putusannya, ruang kerja yang disediakan oleh klien tersebut dianggap telah memenuhi tempat usaha tetap dalam menentukan ada atau tidak adanya BUT (Williams, 2014).